Coba perhatikan data dari Riskesdas 2018 ini. Dilaporkan bahwa 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.Â
Sebagai seseorang yang memiliki aktivitas yang sering bersentuhan dengan remaja, tentu saja ini menjadi perhatian tersendiri bagi saya.Â
Terlebih, melihat begitu berat beban mental yang harus ditanggung oleh masyarakat di kala sibuk menekan penyebaran wabah covid-19. Terciptanya jarak, adaptasi kebiasaan baru, dan meminimalisir kontak langsung dengan sesama.Â
Konflik antar orang tua seringkali menjadi alasan bagi anak-anak remaja dalam masa pencarian jati diri mereka. Terlebih beban yang harus mereka tanggung di kala pandemi membuat mereka semakin limbung dalam memenuhi tugas psikologis mereka.Â
Beberapa tekanan lain, seperti pembatasan jarak, renggangnya skin to skin dengan teman sebaya selama pandemi, dan ketergantungan terhadap gadget membuat mereka mengalami mental breakdown.Â
Seperti seorang anak remaja 18 tahun yang tetiba meminta waktu untuk bercerita tentang mami dan papinya. Saat anak ini sedang menjalani isolasi mandiri, ia seringkali mendapati orang tuanya bertengkar. Bagaimana ia harus melawan covid sekaligus mengelola stres saat KDRT terjadi pada maminya.Â
Itu hanya salah satu dari sekian banyak beban masyarakat di masa pandemi. Belum lagi prokastinasi beberapa rekan yang saya jumpai.Â
Ya, bukan karena mereka malas. Toh generasi kekinian --meski diberi label anak rebahan-- bahkan lebih memilih menunda self gratification. Ada beban tersendiri dari tugas yang diterima, sehingga mereka terkesan menunda pekerjaan dan tugas mereka.Â
Masalah lain yang tak kalah penting adalah masih kentalnya stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).Â
Problem klasik perkembangan mental health yang satu ini patut mendapat perhatian tersendiri.Â
Stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa antara lain: