Hal inilah yang kemudian memunculkan stigma di mana korban sebagai inferior sedangkan pelaku sebagai superior. Biasanya, yang seperti ini terjadi dalam kasus perkosaan terhadap perempuan. Baik itu ranah privat maupun umum.Â
Kedua, belum lagi adanya pola pikir budaya bahwa sex education (sex-ed)Â adalah hal yang tabu. Bahwa anggapan untuk memperkenalkan seks dalam arti yang positif dikuatirkan akan merusak akhlak generasi muda.Â
Minimnya informasi tentang seks yang benar, membuat anak-anak tumbuh tanpa dapat membedakan mana perilaku yang membahayakan dirinya atau yang bisa diterima sebagai perilaku normal.Â
Ketiga, belum banyak masyarakat yang mengetahui kapan atau bagaimana cara orang tua mengenalkan seks pada anak mereka. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya filtrasi informasi yang dikonsumsi anak secara daring.Â
Seakan semua bagai mata rantai yang terhubung tanpa dapat kita kenali mana ujung, mana pangkalnya.Â
Keempat, faset lain, mari menilik dari sisi fisiologis.Â
Pelaku seringkali merupakan korban perlakuan yang sama di masa lalunya.Â
Peristiwa tersebut menyebabkan adanya kerusakan satu bagian otak, tepatnya di bagian dorsolateral prefrontal cortex. Bagian ini mengalami kerusakan yang mungkin disebabkan oleh kejadian di masa lalu. Yaktul... trauma.Â
Peristiwa menyakitkan tersebut tersimpan dalam memori otak, sehingga dalam pertumbuhannya, otak mengalami disfungsional.Â
Defisit pada salah satu bagian sistem kognitif ini kemudian mengakibatkan sistem yang mengatur sikap agresif individu terganggu. Hal demikianlah yang membuat seseorang menjadi sangat agresif.Â
American Psychological Association (APA) jelas mendefinisikan rape, perkosaan bukan sebagai salah satu dari beragam gangguan mental individu.Â