Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Reynhard Sinaga hingga Kesehatan Mental Remaja

10 Oktober 2021   12:11 Diperbarui: 11 Oktober 2021   01:08 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : rasa takut dan kecemasan | via unsplash.com @ Boram Kim

Ada apa (lagi) dengan Reynhard Sinaga? Ya, selintas pertanyaan itulah yang muncul dalam batok kepala saya saat notifikasi BBC muncul di ujung kiri atas HP saya. 

Siapa yang tak mengenal RS kala itu? Berita kasus predator tersebut begitu viral menjadi gunjingan massa. Mulai dari diskusi via media massa hingga kolong percakapan privat. 

Betapa rasa cemas menggurat di balik kenyamanan dan keamanan masyarakat Manchester yang sangat terbuka dengan LGBT. 

Okay, saya tidak akan mengulang berita yang sempat santer tersebut. Hanya saja apa yang diungkapkan oleh Daniel, salah satu dari 48 korban perkosaan RS menyisakan pergumulan tersendiri. 

Untuk kali ini saya ingin mengajak saudara semua untuk melihat perkosaan dari sudut pandang pelaku perkosaan. Ini bukan berarti saya mengecilkan arti penderitaan korban perkosaan. Tentu saja tidak. 

Akan tetapi, mari kita lihat dari sisi yang lain. Masih tertarik untuk membaca artikel ini? So,.... cekidot... 

Apa sih yang mendorong pelaku melakukan tindakan perkosaan? 

Sebelum kita lanjutkan lagi, ada baiknya saya tegaskan di sini bahwa perkosaan bukanlah sebuah gangguan mental. 

Bukan. Meskipun ada kemungkinan pelaku perkosaan sedang mengalami gangguan mental, namun perkosaan tetaplah sebuah tindak kejahatan. 

Okay, bila demikian apa yang terjadi di masyarakat sehingga permasalahan klasik ini menjadi permasalahan pelik sepanjang masa? Yuk, kita intip beberapa faktor diantaranya. 

Pertama, dari sebuah studi di India, terungkap bahwa salah satu faktor penyebab seseorang menjadi pelaku pemerkosaan adalah karena masyarakat  kurang pas, bahkan mungkin salah menyerap budaya patriarki. 

Hal inilah yang kemudian memunculkan stigma di mana korban sebagai inferior sedangkan pelaku sebagai superior. Biasanya, yang seperti ini terjadi dalam kasus perkosaan terhadap perempuan. Baik itu ranah privat maupun umum. 

Kedua, belum lagi adanya pola pikir budaya bahwa sex education (sex-ed) adalah hal yang tabu. Bahwa anggapan untuk memperkenalkan seks dalam arti yang positif dikuatirkan akan merusak akhlak generasi muda. 

Minimnya informasi tentang seks yang benar, membuat anak-anak tumbuh tanpa dapat membedakan mana perilaku yang membahayakan dirinya atau yang bisa diterima sebagai perilaku normal. 

Ketiga, belum banyak masyarakat yang mengetahui kapan atau bagaimana cara orang tua mengenalkan seks pada anak mereka. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya filtrasi informasi yang dikonsumsi anak secara daring. 

Seakan semua bagai mata rantai yang terhubung tanpa dapat kita kenali mana ujung, mana pangkalnya. 

Keempat, faset lain, mari menilik dari sisi fisiologis. 

Pelaku seringkali merupakan korban perlakuan yang sama di masa lalunya. 

Peristiwa tersebut menyebabkan adanya kerusakan satu bagian otak, tepatnya di bagian dorsolateral prefrontal cortex. Bagian ini mengalami kerusakan yang mungkin disebabkan oleh kejadian di masa lalu. Yaktul... trauma. 

Peristiwa menyakitkan tersebut tersimpan dalam memori otak, sehingga dalam pertumbuhannya, otak mengalami disfungsional. 

Defisit pada salah satu bagian sistem kognitif ini kemudian mengakibatkan sistem yang mengatur sikap agresif individu terganggu. Hal demikianlah yang membuat seseorang menjadi sangat agresif. 

American Psychological Association (APA) jelas mendefinisikan rape, perkosaan bukan sebagai salah satu dari beragam gangguan mental individu. 

Tindakan kejahatan ini bisa saja terjadi di mana pun, kapan pun, bahkan siapa pun berpotensi menjadi pelaku maupun korban. 

Fenomena pelecehan seksual baik secara verbal maupun sebentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari, seperti perundungan, catcalling, bahkan marital rape masih jamak terjadi di dalam masyarakat kita. 

Bahkan masih dianggap lazim atau hanya permasalahan sepele dalam masyarakat kita. 

Maka penting bagi kita untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan edukasi seks. 

Ketidakmengertian publik mengenai bagaimana memperbincangkan, mengenalkan seks semenjak dini sesuai dengan perkembangan kognitif anak masih menjadi dilema masyarakat. 

Tentu saja dalam setiap tahap perkembangan kognitifnya, anak membutuhkan arahan tersendiri untuk hal-hal yang dianggap bersumbu sensitifitas tinggi.

Misalnya saja, anak usia 2-3 tahun mulai diperkenalkan tentang seks pada saat ia memasuki masa toilet learning. Atau Anda bingung bagaimana mengawali sebuah percakapan sex-ed ke anak-anak mulai usia 11 tahun? Coba yang ini, saya mendapatkannya dari School of Parenting (SOC). 

"Dek, lihat baby-nya. Lucu yha? Adek tahu ga, baby keluarnya dari mana?"

"Kalo anak ayam keluar dari telur, kalo bayi ada tempat istimewanya lho, namanya uterus. Nah, Bunda juga punya tuh... "

"Kak kemarin kaka tanya soal paedofil ya? Sekarang Ayah punya jawaban nih. Mau tahu ga?"

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah kita sebagai orang tua harus memastikan keakuratan informasi yang akan kita sampaikan. Tidak mengapa bila kita menunda untuk menjawab pertanyaan anak-anak, bila kita belum yakin pada jawaban tersebut. 

Alangkah baiknya bila consent culture diajarkan semenjak anak menginjak usia remaja. 

Berdasarkan pendapat para ahli, consent culture, sebuah sikap tegas kita pada batasan yang disepakati bersama, merupakan kebiasaan baru yang sangat relevan meminimalisir kejahatan seksual. 

Banyak orang menganggap consent culture membuka lebar adanya seks bebas. Oh tentu tidak, saudara. Bahkan consent culture memberikan batasan yang jelas dalam sebuah relasi.

Consent culture berbicara mengenai bagaimana kita menghargai perasaan orang lain,  baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan secara profesional. 

Well, lain kali kita bahas soal consent culture ini yha? Atau ada yang tertarik mengulasnya? Saya tunggu di artikel Anda... 

Kembali lagi.... 

Menurut data dari Global Early Adolescent Study (GEAS) pada tahun 2019-2020, ada 47,8 % remaja di Indonesia yang tidak mampu mengatakan "tidak" untuk sesuatu hal yang tidak ingin mereka lakukan. 

Bisa dibayangkan betapa besar peluang para predator seks di luar sana yang mengancam anak-anak kita. 

Untuk melatih diri, coba yang satu ini... 

"Kalau kaka kepanasan boleh kok jaketnya dilepas,"

"Engga pa pa kok kalo adek ga suka makanannya,"

"Mau peluk Mama dulu ga sebelum maju perform?"

Ada begitu banyak hal yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir tindak kejahatan seksual. Pilihan ada di tangan kita. Mau belajar, atau membiarkan semua terjadi begitu saja... Itu hanya pilihan... 

Demikian dari saya, selamat menikmati hari, sampai bertemu di artikel saya berikutnya. 

Salam persahabatan, 

Penulis

#WorldMentalHealthDay

#HariKesehatanMentalSedunia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun