"Mbak, ko bisa sii, makannya banyak tapi bodi tetep aja langsing? Kebanyakan mikir ya, Mbak?"
Kalimat yang dibarengi dengan derai tawa kecil kami itulah yang kerap saya dengar di warung makan langganan saya.Â
Petikan percakapan di atas mungkin juga sering kita dengar, bukan? Atau ada di antara teman-teman masih membiasakan diri menumpahkan sedih dan marah dengan menikmati makanan tertentu hingga terasa nyaman kembali? Nah, setelahnya, kadang timbul perasaan nyesek....Â
"Lhoh, dietku berarti gagal dong..." lalu kita kecewa, stres, makan lagi, nyesel lagi.... hmmm... jadi lingkaran setan dong...Â
Tidak salah bila kita merasa marah, sedih, jengkel, takut, itulah emosi saat stres melanda. Itu normal. Tetapi, bagaimana cara kita mengelolanya selalu saja menjadi permasalahan yang masih menjadi pertanyaan, bukan?Â
Artinya, bila teman-teman mengalami hal tersebut di atas... well, lanjutin baca artikel ini yuks... Kali ini kita akan bersama belajar tentang Emotional Eating.Â
Beberapa di antara kita mencoba mendistraksi dengan aktivitas lain, seperti pergi ke mall, berbelanja barang yang belum tentu berguna, jalan-jalan, makan.... Ahay, tepat sekali. Makan!Â
Nah, di artikel kali ini kita akan membahas tentang hubungan antara emosi dengan aktivitas makan kita.
Sebagian besar dari masyarakat kekinian pasti telah memahami bahwa stres sangat berpengaruh pada pola makan kita. Stres mampu mengurangi nafsu makan kita atau bahkan membuat kita menjadi "budak makanan".
Apakah Stres Itu?Â
Sebelum kita lebih jauh mendedah bagaimana stres dan emosi dapat mempengaruhi pola makan, kita belajar yang ini dulu yuk...Â
Secara singkat, stres merupakan suatu respon fisik maupun psikologis seseorang terhadap stimulan (stresor) yang dirasa membahayakan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar tubuh kita.Â
Stresor bisa berupa beban pekerjaan, ujian, skripsi, relasi dengan teman, atau konflik dalam pernikahan, dan masih beragam hal yang membuat kita merasakan "bahaya".
Berbeda dengan emosi dan depresi. Stres mampu memunculkan beragam perasaan. Bisa jadi marah, sedih, atau takut.Â
Stres yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada kesehatan tubuh yang menurun.Â
Akan tetapi, seperti halnya obat, bila stres diberikan pada takaran yang tepat akan membantu seseorang lebih bertumbuh, lebih bahagia.Â
Pada saat stres, tubuh kita akan memproduksi hormon kortisol. Pada dasarnya, hormon ini bekerja secara otomatis dalam tubuh kita. Bila boleh saya ibaratkan, ada tombol on/off yang mengatur kapan mulai dan kapan berhentinya.Â
Hormon ini akan mengirim sinyal kepada otak, bahwa tubuh kita membutuhkan makanan yang dapat menghasilkan gula dan lemak.Â
Pada makanan tertentu, seperti coklat, es krim, french fries, pizza, atau kue kering, akan meningkatkan aktivitas neurotransmitter di otak, sehingga mengakibatkan seseorang merasakan kenyamanan pada saat mengonsumsi makanan tersebut.Â
Maka, bukan hal yang mengherankan bagi mereka yang terbiasa mendistraksi stres dengan mengonsumsi makanan, pasti mendambakan segelas coklat hangat, atau sekadar sebatang es krim, atau mungkin ada pula yang menginginkan makanan cepat saji.Â
Permasalahannya, bagaimana bila kita terbiasa mengonsumsi coklat, es krim, pizza, atau gorengan untuk meredakan emosi, tanpa kita mempedulikan besaran jumlahnya?Â
Dalam sekejap makanan tersebut memang mendatangkan kenyamanan. Tetapi, pleasure, kenyamanan yang kita terima tersebut hanya bersifat sementara. Tidak memiliki durasi yang panjang.Â
Emotional Eating Termasuk Gangguan Mental Atau Bukan?Â
Seseorang yang mempunyai kebiasaan mengonsumsi makanan dalam jumlah besar sebagai respon atas emosi negatif seperti marah, sedih, kesepian, maupun rasa bosan, merupakan perilaku emotional eating (EE).Â
Karena hampir mirip, pada umumnya seseorang dengan perilaku Emotional Eating langsung dikatakan sebagai penyintas Binge Eating Disorder (BED).Â
BED termasuk dalam gangguan mental (menurut DSM-5), maka penguatan diagnosa sudah seharusnya dilakukan oleh para ahli yang bersangkutan.Â
Sementara, Emotional Eating merupakan perilaku penyerta dari depresi, BED, bulemia, atau mental illness yang lain.Â
So, sekadar disclaimer, masih dan terus saja saya ingin menyampaikan, don't do self diagnose, kay... Bila ada gejala yang serasa mirip, silakan konsultasi ke ahlinya ya, saudara.Â
Nah, karena stres mampu memunculkan beragam emosi, biasanya seseorang dengan kebiasaan perilaku EE akan mengonsumsi makanan hanya untuk membuat nyaman. Bukan untuk memenuhi kebutuhan fisik (rasa lapar) orang tersebut.Â
Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi untuk melakukan EE dibandingkan dengan laki-laki.Â
Salah satunya, saya kulik dari International Journal of Environmental Research and Public Health, dari 24. 968 responden di Norwegia, didapati 56% diantaranya adalah wanita yang mengalami Emotional Eating selama masa lockdown berlangsung.Â
Meskipun wanita lebih banyak menjalani EE, bukan berarti lelaki tidak mengalaminya, saudara. Biasanya lelaki memilih mengonsumsi makanan dalam jumlah besar saat mereka marah atau sedang berduka.Â
Emotional eating adalah masalah kaum urban yang semakin menjamur, seiring semakin kompleks-nya stresor yang muncul.Â
Paling tidak, saya ingin berbagi saran, bila kita merasa makanan adalah cara untuk mendistraksi stres.Â
Pertama, kenali kebutuhan makan kita. Apakah keinginan makan tersebut timbul karena kebutuhan fisik alias lapar kita atau hanya sekadar perasaan ingin melampiaskan stres.Â
Bila memang karena stres, alangkah baiknya bila kita mengenali apa yang menjadi pemicu stres tersebut.Â
Masih banyak cara lebih sehat daripada melampiaskan atau menekan stres (seakan tidak terjadi apa pun) ada saatnya kita mengambil jeda sejenak untuk meresponi stres.Â
Dua, bila memang ingin menikmati camilan, kita dapat memilih makanan lain yang lebih sehat sebagai pengganti gorengan atau sebatang coklat.Â
Bila sedang ingin makan coklat, kita dapat menggantinya dengan kacang, sayuran hijau, atau buah-buahan. Begitu pula dengan gorengan, kita dapat menggantikannya dengan keju atau sayuran.Â
Cake yang manis memang menggiurkan, tapi boleh juga diganti dengan brokoli, ubi, ayam, atau kubis.Â
Tiga, mendistraksi stres dengan aktivitas lain bisa jadi sebuah pilihan bagus bagi kita.Â
Bermain dengan hewan peliharaan, berkebun, menulis, berbincang dengan kawan, atau berolah raga. Dapat pula kita melakukan yoga atau teknik meditasi.Â
Well, makanan mungkin dapat menghilangkan rasa tidak nyaman kita, akan tetapi meregulasi emosi akan lebih menguntungkan kita untuk jangka waktu yang lebih panjang.Â
Sekian dari saya, semoga hari Anda menyenangkan...Â
Salam sehat,Â
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H