Seseorang yang mempunyai kebiasaan mengonsumsi makanan dalam jumlah besar sebagai respon atas emosi negatif seperti marah, sedih, kesepian, maupun rasa bosan, merupakan perilaku emotional eating (EE).Â
Karena hampir mirip, pada umumnya seseorang dengan perilaku Emotional Eating langsung dikatakan sebagai penyintas Binge Eating Disorder (BED).Â
BED termasuk dalam gangguan mental (menurut DSM-5), maka penguatan diagnosa sudah seharusnya dilakukan oleh para ahli yang bersangkutan.Â
Sementara, Emotional Eating merupakan perilaku penyerta dari depresi, BED, bulemia, atau mental illness yang lain.Â
So, sekadar disclaimer, masih dan terus saja saya ingin menyampaikan, don't do self diagnose, kay... Bila ada gejala yang serasa mirip, silakan konsultasi ke ahlinya ya, saudara.Â
Nah, karena stres mampu memunculkan beragam emosi, biasanya seseorang dengan kebiasaan perilaku EE akan mengonsumsi makanan hanya untuk membuat nyaman. Bukan untuk memenuhi kebutuhan fisik (rasa lapar) orang tersebut.Â
Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi untuk melakukan EE dibandingkan dengan laki-laki.Â
Salah satunya, saya kulik dari International Journal of Environmental Research and Public Health, dari 24. 968 responden di Norwegia, didapati 56% diantaranya adalah wanita yang mengalami Emotional Eating selama masa lockdown berlangsung.Â
Meskipun wanita lebih banyak menjalani EE, bukan berarti lelaki tidak mengalaminya, saudara. Biasanya lelaki memilih mengonsumsi makanan dalam jumlah besar saat mereka marah atau sedang berduka.Â
Emotional eating adalah masalah kaum urban yang semakin menjamur, seiring semakin kompleks-nya stresor yang muncul.Â
Paling tidak, saya ingin berbagi saran, bila kita merasa makanan adalah cara untuk mendistraksi stres.Â