Seakan korban adalah pihak yang harus menderita, baik luka fisik maupun batin, harus dengan legowo (oh, apakah ini kata yang pantas?) untuk membiasakan diri, meniadakan emosi, hingga mati emosi, dengan kejadian kelam yang dialaminya.Â
Kasus pelecehan seksual Saipul Jamil dan perundungan yang melibatkan beberapa oknum KPI --yang telah dibebastugaskan-- merupakan dua contoh dari sekian kasus terlapor maupun tidak, di mana tersirat fakta bahwa korban penyintas belum mendapatkan ranah perlindungan yang nyaman. Bahkan, menyisakan trauma panjang yang tidak mudah disembuhkan.Â
Biarlah waktu yang menyembuhkan?Â
Ya, kita masing-masing mempunyai daya self healing; meski dengan cara yang berbeda untuk mengobati luka batin. Tetapi bila bukan kita yang peduli pada para penyintas trauma, siapa lagi yang ada untuk mereka?Â
Para penyintas pelecahan seksual dan atau perundungan membutuhkan circle, lingkungan yang mendukung proses penyembuhan trauma. Seperti misalnya, endorong korban menemui ahli terapi yang dapat dipercaya, dalam hal ini psikiater atau psikolog.Â
Sebuah petisi mungkin bisa menjadi harga mati di saat semua serba tak belum pasti.
Mungkin sebuah petisi mampu membatalkan ataupun membekukan aktivitas publik figur, atau seseorang yang sedang dalam "penghukuman sosial" oleh massa.
Baca juga :Â Teori Konspirasi: Baca Ini Dulu Sebelum Percaya Hoaks
Satu pertanyaan yang pasti, apakah kita akan berani berempati atau memilih menyembunyikan diri, bila pelecehan seksual dan atau perundungan terjadi di hadapan kita sendiri?Â
Sekiranya boleh saya mengajak, paling tidak jangan anggap mati atau sesegera mungkin beranjak, dari seruan mereka yang ingin secuil harapan dari kekusaman episode hidup yang pernah mereka alami dan rasakan.Â
Salam penuh hormat,Â
Penulis