"Lha dari pada habis online sekolah dianya malah gaming aja, mending saya suruh les to, Miss."
"Anaknya sendiri yang bilang, 'udah suntuk, Ma, di rumah terus.'Gitu Miss."
Ya, begitulah. Belum lagi ada beberapa orang tua yang selalu rajin membandingkan prestasi atau capaian anaknya dengan anak yang lain. Pada umumnya, orang tua melakukannya dengan alasan ingin memberikan motivasi bagi anak-anak.Â
Hmmm... apakah lantas si anak merasa termotivasi? Well... kebanyakan dari mereka malahan mengaku stres dengan seabrek aktivitas yang harus dijalani. Please believe me...Â
Nah.... serasa lengkap, bukan? Mari kita flashback menilik data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang menunjukkan kenaikan tingkat kecemasan, rasa takut, bahkan adanya laporan keinginan anak untuk bunuh diri pada saat lima bulan masa pandemi.Â
Melalui studi yang melibatkan 4010 responden dari 34 propinsi di Indonesia yang melakukan swaperiksa, 64,8 % di antaranya menunjukkan adanya masalah psikologis berupa cemas, stres, depresi, maupun trauma. Kondisi tersebut rentan muncul pada rentang usia 17-29 tahun dan usia lebih dari 60 tahun.Â
Tingkat kejenuhan siswa belajar melalui sistem daring pun sedikit demi sedikit merubah karakter dan sikap belajar anak.Â
Muncul beragam fenomena sosial berkait dengan berjalannya PJJ. Salah satu yang jamak terjadi di berbagai negara adalah student burnout.Â
Well, di kalangan mahasiswa fenomena ini biasanya disebut sebagai academic burnout.Â
Student burnout merupakan kondisi di saat siswa merasakan cemas, takut, stres, depresi dalam durasi waktu yang panjang. Dalam hal ini dialami oleh pelajar selama masa pandemi.Â
Sepanjang berlangsungnya PJJ mahasiswa diharapkan mempunyai self efficacy--keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya untuk menghadapi tuntutan akademik-- yang tinggi sebagai salah satu cara menghindari academic burnout.Â