Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kesah Distorsi dalam Secangkir Kopi

26 Agustus 2021   18:16 Diperbarui: 27 Agustus 2021   03:54 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda tidak percaya? Coba bacalah syair beliau yang indah dan menggelitik namun penuh aroma distraksi. Kiranya akunmu segera membiru, Bang....

Bus kota sudah lewat. Hujan belum reda. Kuseduh kembali kopi dan menanti bus selanjutnya. Kupastikan beranjak sebelum tumbuh jerawat. Menikmati penantian tanpa arah tujuan. "Sayang, aku lelah bertualang."

Arus distorsi malam terus melayang. Usulan pun melenggang agar saya segera membungkus rapi deretan syair yang tertuang. Tapi, tidak. Termin waktu belum bergulir, saya hanya membiarkannya mengalir, hingga pukul 24 waktu setempat.

Rupa-rupanya Mas Han yang semula mengaku tak mampu memberi saweran puisi, bergegas mengemas aksara yang entah dari mana ia gali. Ekskavasi syair tetiba digelar. 

Entah senyawa kimia apa yang mengalir dalam lobus frontal-nya, tanpa saya duga, dua bait puisi tercipta begitu saja. Wah, Pemilik Aksaraku, begitulah gelar saya untuknya, you always do something nice for me and everyone.

Halte ini kembali sepi, seperti kopi pertama malam ini. Hitam pekat, gelap pada malam yang tak sempat berjabat. Seperti siluet yang melukis pelukan untuk saling berpamitan.

Pisah. Dalam desah yang tak tersampaikan. Peluh dalam keluh. Lalu menghilang dalam ingatan. Membuai lalu menghilang dalam lamunan. Sepi lagi, berulang seperti penantian yang tak terkabarkan. Ah, semua tentang kehilangan.

Arkeolog satu ini memang selalu membuat saya menjadi terbata. Pantas saja banyak yang ingin berkolaborasi dengannya, hehehe. Mungkin saya termasuk salah satu yang beruntung bisa mengenal dan bekerja sama memilin bahasa dalam estetika dan karya. 

Ndoro Tuan, Penilik Masa, Pemilik Aksara, setidaknya itulah gelar yang sempat saya sematkan untuk arkeolog yang telah membuat saya merasa berharga. May God bless your way....

Proses distorsi ternyata masih terus berjalan. Dari kejauhan benua, notifikasi Mbak Widz tergopoh menghentikan sejenak pagi saya. Dengan kehalusan budi pekerti dalam balutan sastra, akhirnya sebait syair penutup mengeksekusi puisi " Distorsi dalam Secangkir Kopi". Hmmm....a dazzling drops, Mba Widz....

Andai aku Iblis, kan kucipta semua yang bikin tangis. Andai aku Dewa, takkan kucipta semua yang bikin aku luka. Agar kau tahu, kopi ini nikmat. Dan rindu ini semakin dahsyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun