Rupa-rupanya fakta ini membenarkan sebuah ungkapan, rasa sakit yang disebabkan oleh tindak kekerasan emosional berbeda tipis pada saat kita merasakan sakit pada tubuh kita.
Bagaimana menyelesaikan konflik bila berhadapan dengan perilaku silent treatment?
Pada dasarnya, dalam segala bentuk relasi baik itu dalam rumah tangga, persahabatan, partnership di dunia kerja, atau pun dalam persaudaran sekalipun, dibutuhkan kepercayaan dan keterbukaan.
Mungkin alternatif yang akan saya sodorkan ini hanyalah tips sederhana, bila berkenan, bisa saja dicoba. So, ijinkan saya berbagi resep yang saya dapatkan dari seorang guru bijak. Do The "F" Matters.Â
1. Fact. Mari membicarakan fakta yang terjadi. Apa yang sedang terjadi. Adanya openess, keterbukaan antara satu dengan yang lain akan membuka kemungkinan untuk masalah tersebut terselesaikan.Â
"Ya, aku tahu kau sedang ingin mendiamkan aku. Tapi, mari kita bersama saling bicara. Apa aku boleh tahu yang kau rasakan?"
Di tahap ini, kita memposisikan diri untuk saling bertukar pikiran.Â
2. Feeling. Tahap ini merupakan kelanjutan dari langkah pertama. Di sini diharapkan pelaku mencoba untuk menguraikan apa yang ada dalam benaknya. Apa yang dirasakannya.
Komunikasikan dengan "i" message. Pesan akan lebih tersampaikan bila dimulai dengan apa yang diri kita rasakan.Â
"Aku ga nyaman kalau kamu bilang ke teman-teman soal kebiasaan mendengkurku."Â
"Aku malu waktu kamu membicarakan masa kecilku pada saat acara keluarga."
Sebagai pendengar, ada baiknya kita mencoba mendengar. Cobalah memandang masalah dari kacamatanya, bukan dari sudut pandang kita.