Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Silent Treatment: Anda Diabaikan atau Mengabaikan?

31 Maret 2021   19:19 Diperbarui: 28 April 2022   23:29 1685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: diam tidak selalu menyelesaikan masalah |via sheknows.com

Salah satu tujuan hadirnya pertengkaran adalah agar kita belajar mengenal bagaimana kita menghadapi sebuah permasalahan. Bukankah belajar adalah proses seumur hidup?

Bertengkar mungkin adalah hal yang tak terelakkan dalam lingkup sosial kita. Sebagai manusia, adalah normal apabila kita terlibat dalam sebuah pertengkaran.

Bukan hal yang aneh apabila pasangan suami-istri terlibat dalam pertengkaran. Mulai dari hal sederhana seperti istri yang selalu menggerutu bila suaminya meletakkan handuk basah di atas tempat tidur. Atau seorang suami-istri yang bertengkar ketika sang suami merasa tidak nyaman menemani istri sibuk berbelanja di mall.

Pertengkaran pun bisa jadi melebar menyenggol hal-hal sensitif yang kemudian menyebabkan pertengkaran tersebut menjadi lebih "seru". Ini mengapa konflik memang harus ada dalam relasi. 

Bila sup hangat dengan bermacam komposisi diracik sedemikian rupa tanpa diberi bumbu, maka hanya sayur rebus hambar yang terasa. Begitu pun dengan pertengkaran dalam sebuah relasi.

Pemicu pertengkaran dalam rumah tangga dapat datang dari sisi ekonomi, jarak (bagi yang Long Distance Marriage), perbedaan prinsip pola asuh anak, konflik dengan saudara, dan masih banyak pemicu lain.

Beragam cara dilakukan pasutri dalam meredakan konflik yang ada. Tetapi, di sini saya akan mengulas tentang perilaku silent treatment (yang mungkin pula terjadi di berbagai aspek lingkup sosial kita) dalam kehidupan rumah tangga.

Disclaimer: tulisan dalam konten ini saya buat bukan untuk bertujuan ingin menggutui ataupun seolah memberi justifikasi. Bila ada yang merasa menjadi bagian dalam konten ini, sangat disarankan untuk menghubungi konselor yang menjadi ahli dalam permasalahan ini, baik itu psikolog atau pun psikiater.

Silent treatment bukan komunikasi berjeda

Silent treatment adalah suatu kondisi dimana individu yang terlibat dalam pertengkaran, dalam hal ini pasangan suami istri lebih memilih untuk tidak memberikan respon, atau mengabaikan ucapan pasangan, menolak untuk merespon pandangan pasangan, tidak membalas pesan singkat maupun panggilan telepon dari pasangan.

Silent treatment berbeda dengan upaya memberi jeda, menarik diri untuk meredakan emosi, agar dapat berkomunikasi dengan lebih tenang kepada pasangannya.

Apabila pasangan ingin menarik diri untuk sementara, maka masih ada keinginan mereka untuk menyelesaikan permasalahan ada. 

Namun, dengan adanya silent treatment, individu yang terlibat dalam pertengkaran tidak mempunyai keinginan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Nah, silent treatment ini menurut beberapa ahli psikologi dikategorikan dalam tindakan manipulatif pelaku. Beberapa orang menggunakan metode ini (menolak merespon semua media komunikasi dengan korban) menimbulkan dampak negatif secara emosional bagi sang korban. 

Pelaku silent treatment biasanya merasa lebih kuat dan menjadi superior bagi korban. Ada pula yang melakukannya karena ingin memberi hukuman kepada pasangan. Aksi ini dapat pula dilakukan bila pelaku ingin menghindari konflik dengan pasangan.

Ada alasan lain bagi si pelaku. Ia memilih cara ini karena sulit mengungkapkan perasaannya. Sehingga, dengan melakukan pengabaian tersebut, ia berharap pasangannya akan mengetahui segala kemarahan, kekecewaan, ataupun masalah lain yang membuatnya terluka.

Kemungkinan besar, perilaku silent treatment bersifat repetitif. Artinya usai pelaku mendapatkan keinginannya dari korban, maka ada kemungkinan ia akan mengulanginya kembali suatu saat nanti.

Seorang ahli kejiwaan, Profesor Margaret Clark dari Universitas Yale dalam sebuah artikel yang saya kutip dari theantlantic.com (26/03/2021) mengatakan bahwa meskipun sang korban harus meminta maaf pada pelaku (atas tindakannya yang mengecewakan pelaku), akan lebih baik apabila pasangan tersebut menghubungi ahli terapi profesional, baik itu psikolog maupun psikiater untuk menanggulangi kembali terulangnya perilaku silent treatment ini.

Pengaruh silent treatment bagi korban

Kipling Williams, seorang profesor psikologi yang selama 20 tahun lebih meneliti masalah ostracism, termasuk di dalamnya perilaku silent treatment, berpendapat bahwa silent treatment ini akan berdampak buruk bukan hanya pada kesehatan mental si korban, namun juga kesehatan fisik orang tersebut.

Korban akan merasa diabaikan, merasa sebagai orang yang tidak diterima, tidak berguna, bingung harus mengambil keputusan apa, merasa bersalah, takut hubungan meteka akan berakhir, berpikiran negatif, stress, bahkan mungkin berakibat pada depresi.

Ada bagian otak kita yang tugasnya untuk merespon rasa sakit emosional yang kemudian berhubungan dengan sakit fisik. 

Adalah anterior cingulate cortex, bagian otak inilah yang merespon rasa sakit emosional seseorang, kemudian pada saat itu pula terjadi proses kimiawi dalam otak yang mengakibatkan seseorang yang secara emosional tersakiti akan merasakan sakit pada tubuh, seperti sakit kepala, sakit perut, insomnia, bahkan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan sakit pada jantung, hipertensi, diabetes, dan banyak penyakit patologis lainnya.

Rupa-rupanya fakta ini membenarkan sebuah ungkapan, rasa sakit yang disebabkan oleh tindak kekerasan emosional berbeda tipis pada saat kita merasakan sakit pada tubuh kita.

Bagaimana menyelesaikan konflik bila berhadapan dengan perilaku silent treatment?

Pada dasarnya, dalam segala bentuk relasi baik itu dalam rumah tangga, persahabatan, partnership di dunia kerja, atau pun dalam persaudaran sekalipun, dibutuhkan kepercayaan dan keterbukaan.

Mungkin alternatif yang akan saya sodorkan ini hanyalah tips sederhana, bila berkenan, bisa saja dicoba. So, ijinkan saya berbagi resep yang saya dapatkan dari seorang guru bijak. Do The "F" Matters. 

1. Fact. Mari membicarakan fakta yang terjadi. Apa yang sedang terjadi. Adanya openess, keterbukaan antara satu dengan yang lain akan membuka kemungkinan untuk masalah tersebut terselesaikan. 

"Ya, aku tahu kau sedang ingin mendiamkan aku. Tapi, mari kita bersama saling bicara. Apa aku boleh tahu yang kau rasakan?"

Di tahap ini, kita memposisikan diri untuk saling bertukar pikiran. 

2. Feeling. Tahap ini merupakan kelanjutan dari langkah pertama. Di sini diharapkan pelaku mencoba untuk menguraikan apa yang ada dalam benaknya. Apa yang dirasakannya.

Komunikasikan dengan "i" message. Pesan akan lebih tersampaikan bila dimulai dengan apa yang diri kita rasakan. 

"Aku ga nyaman kalau kamu bilang ke teman-teman soal kebiasaan mendengkurku." 

"Aku malu waktu kamu membicarakan masa kecilku pada saat acara keluarga."

Sebagai pendengar, ada baiknya kita mencoba mendengar. Cobalah memandang masalah dari kacamatanya, bukan dari sudut pandang kita.

Jangan mencoba dengan sesegera mungkin berdebat dan mencari pembenaran atas pendapat kita sendiri. Saya pernah melakukannya, dan akhirnya...ambyar...

3. Future. Setelah kita, sebagai pendengar mengetahui apa latar belakang pelaku untuk melakukan aksi diam tersebut, maka saatnya membicangkan apa yang harus dilakukan apabila nanti secara tidak sengaja kita terlibat dalam pertengkaran.

Pertengkaran mungkin tidak dapat dihindari. Dan perceraian pada umumnya bukan terjadi karena hadirnya pertengkaran dan konflik, melainkan bagaimana kita menghadapi konflik tersebut.

Ps: next post....episode anak-anak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun