“forty is the old age of youth and fifty the youth of old age”. (Victor Hugo)
Here we go....
Waaah lama absen nulis nih. Monmap yha, Sobs. Seminggu kemarin banyak aktivitas real life yang warbyasah membuat saya harus break sebentar. Now, I'm back....
Eh, ada topik pilihan nih. Keren, lagi! Gegara Ohm Rudy Gunawan, saya jadi ikut gemes. Kay, tanpa ba bi bu, na ni nu, kita bahas yang satu ini. Cekidot, Sobat Bijak....
Rentang Usia Midlife Crisis
"Life begin at 40," begitu bunyi teks teman WAG saya.
Pada dasarnya puber kedua merupakan istilah yang dipakai secara umum untuk menggambarkan rangkuman dari beberapa perubahan perilaku pada seseorang secara tiba-tiba pada rentang usia tertentu.
Dalam dunia psikologi istilah puber kedua lebih dikenal dengan nama midlife crisis, sebuah proses yang terjadi dalam rentang usia antara 40-60 tahun.
Identifikasi ini dilakukan pertama kali oleh psikolog Carl Jung. Ia menganggap bahwa midlife crisis merupakan hal yang normal dialami oleh beberapa individu.
Beberapa peneliti juga pernah menyatakan midlife crisis juga terjadi pada mereka yang berada pada rentang usia lebih awal antara 35-45 tahun.
Meskipun terjadi lintas gender, lintas profesi, namun midlife crisis bukanlah sebuah fenomena yang akan dialami oleh setiap orang dalam rentang usia tersebut.
Bagi beberapa orang fenomena ini mungkin saja terjadi. Namun, bagi sebagian yang lain, proses ini bukanlah hal yang luar biasa.
Faktor pendewasaan dan pengenalan diri merupakan satu dari sekian faktor yang membentuk stigma seseorang terhadap fenomena ini.
Fase-Fase dalam Midlife Crisis
Yuk kenali lebih dekat fase atau tahapan yang terjadi dalam midlife crisis. Secara singkat ajha yha, Sobs.
Setiap orang dalam pendewasaan mentalnya akan mengalami sebuah siklus serupa parabola. Kondisi midlife crisis adalah ketika seseorang berada pada titik terendah. Pada nilai minimum (ilmu math) dalam grafik parabola U.
Menilai sebuah peristiwa akan berbeda bila dilihat dari sisi yang berbeda pula. Saya akan mengajak Sobat Bijak semua melalui perspektif positif. Alih-alih menakutkan, midlife crisis justru akan menjadikan kita bertumbuh secara positif.
Satu. Timbulnya rasa dissatisfaction, atau rasa tidak puas terhadap segala hal yang ada di sekitar kita. Dalam segala hal. Meskipun kita sudah mencoba untuk melakukan semua dengan sempurna,namun tetap saja ada rasa tidak puas dalam diri kita.
Individu yang mengalami fase ini seringkali dihimpit oleh kebosanan pada segala sesuatu di sekitarnya. Bosan. Jenuh. Beberapa ahli terapi menganggap ini merupakan proses denial.
Perasaan bosan ini bukan hanya jenuh untuk hal-hal yang spesifik saja. Misal kita jenuh pada pekerjaan kita. Atau suatu ketika, kita bosan pada komunitas kita. Mungkin kita jenuh pada salah satu relasi kita. Bukan...bukan kejenuhan secara parsial.
Kejenuhan pada midlife crisis adalah kejenuhan pada segala hal. Semua, dalam waktu yang sama. Bahkan hobi yang biasanya menyenangkan pun berubah menjadi sangat membosankan. Bosan pada semua aktivitas yang dibangun selama berpuluh tahun.
Yang berbahaya, rasa bosan ini pun menjalar pada hubungan pernikahan. Bosan pada hubungan yang dibangun bertahun-tahun. Awal dari perselingkuhan? Hmmm, bisa jadi. Untuk yang satu ini kita bahas di lain artikel yha, Sobs.
Fase kedua, melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan.
Bersama beberapa teman melayani sebagai konselor rohani, saya sempat menjumpai beberapa kasus tentang midlife crisis.
Mungkin sebuah kebetulan, dari beberapa kasus yang saya jumpai kebanyakan individu yang mengalami krisis ini adalah pria (meskipun ada beberapa wanita juga mengalaminya) mapan secara materi.
Mereka umumnya mempunyai pekerjaan tetap yang cukup layak, punya rumah tinggal, keluarga yang terlihat harmonis, juga relasi dan komunitas yang hangat.
Kebosanan membuat gaya hidup seseorang menjadi berubah. Meskipun mereka mencoba melakukan segala sesuatunya dengan sempurna, namun tetap saja rasa jenuh tetap menghinggapi.
Inilah yang seringkali memantik individu menjadi stres, lantas melakukan hal-hal yang di luar kebiasaannya terdahulu. Pergi ke pesta-pesta, merokok yang berlebihan, nafsu makan mulai berkurang atau mungkin malah bertambah.
Selain rasa bosan, faktor biologis seperti penurunan fungsional tubuh menyebabkan seseorang menjadi takut, gentar menghadapi perubahan tersebut. Sehingga, individu mulai timbul keinginan untuk memulai lagi hal-hal yang dahulu pada masa muda pernah ia lakukan.
Yang paling banyak dialami oleh mereka di usia madya ini adalah kesadaran akan penurunan fungsional organ seks pada wanita maupun pria, yang kemudian mendorong individu mencari pengalaman atau tantangan baru untuk mengalami kembali sensasi masa lalunya. Seperti, mencoba mencari sesuatu yang baru dengan menjalin hubungan bersama individu baru.
Bukankah stigma inilah yang menjadi "hantu", menakuti kaum muda untuk melewati usia madya? Well, Sobs, sekali lagi, midlife crisis bukanlah fenomena wajib yang harus kita jalani. Beberapa orang mengalaminya, tapi banyak juga yang menyikapi masa madya ini dengan biasa saja.
Bahkan, ada pandangan yang saat ini malah berkembang, bahwa midlife crisis merupakan era evaluasi diri sebagai pijakan untuk memaksimalkan hidup yang lebih produktif, Sobs. So, take it easy...jalani saja prosesnya.
Fase ketiga, acceptance, penerimaan. Selain ketidakstabilan emosi, aspek lain dalam perubahannya secara psikologis, bagi mereka di usia paruh baya atau madya mempunyai kemampuan kognitif yang tinggi, sesuai dengan pengalaman, wawasan maupun pengetahuan individu.
Psikolog Erik Erickson berpendapat bahwa usia madya ini, merupakan masa memilih, sebuah titik balik di mana individu memaksimalkan potensinya atau mereka memilih untuk berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apa pun lagi.
Pada tahap ketiga inilah seseorang akan menyadari kesalahan yang mungkin timbul pada fase kedua. Keputusan emosional pada fase kedua yang dianggap merugikan seperti marah, berhenti dari pekerjaan, berselingkuh, atau berdandan ala anak muda kemudian akan disadari sebagai sebuah kesalahan.
Timbul penyesalan dalam diri individu, yang mendorongnya untuk berupaya memperbaiki diri, melakukan perenungan, dan mengevaluasi untuk merencanakan kembali kehidupannya.
Bagaimana Upaya Menangani Masa Puber Kedua?
Ya, midlife crisis adalah sebuah siklus, sebuah proses kematangan kedewasaan seeseorang. Tergantung pada cepat lambatnya seseorang berdamai dengan perubahan fisiknya dan penurunan kemampuan tubuhnya.
Melakukan olahraga secara teratur akan memicu tumbuhnya hormon oksitosin, sebagai salah satu zat komponen pemicu kebahagiaan. Dengan berolahraga, seseorang akan berada dalam kondisi tubuh yang terjaga.
Kontrol emosi dapat pula diatur dengan melakukan relaksasi atau meditasi, sehingga seseorang tidak menghabiskan waktu untuk menyalahkan dirinya, melainkan mampu mengapresiasikan perasaan mereka, mampu menemukan sisi yang baik, sekalipun pada situasi yang paling buruk.
Nah, selain upaya dari diri sendiri, alangkah baiknya apabila keluarga, teman, maupun lingkungan sekitarnya pun mendukung dan memberi apresiasi selama individu beradaptasi dalam masa krisisnya.
Seberapa besar resiliensi pasangan akan berdampak pada besar kecilnya resiliensi seluruh anggota keluarga.
Begitu yha, Sobs. Semoga yang saya bagikan ini dapat bermanfaat bagi kita yang sedang atau pun akan memasuki area middle life. Tetap semangat yha, and jangan lupa tetap jaga kesehatan.
Layaknya ulat dalam kepompong, demikianlah individu dalam proses midlife crisis. Usai individu melampaui fase ini, maka ia akan seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong. Menjadi diri sendiri dengan keindahan kebajikan mengalahkan dunia.
Salam bahagia,
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H