Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Sukses Tanpa Depresi, Waspadai Impostor Syndrome

10 Desember 2020   18:18 Diperbarui: 11 Desember 2020   18:18 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : impostor game Among Us | via Pinterest.com @hastya_cute cute

IMPOSTOR. Pernah mendengar istilah ini? Ya, bagi kita yang sering bertaut dengan game online Among Us pasti sudah tidak asing lagi, yha?

Dalam game hasil besutan Inersloth ini, impostor merujuk pada satu sosok berkarakter sebagai penipu, yang menyamar dalam crewmate. Sosok impostor akan berusaha membunuh para crewmate dengan cara menipu. 

Sudah, setop di sini saja. Saya tidak akan membahas detail dari angle gaming. Lha wonk saya juga ndak paham betul soal gaming, cuma belajar dari temen-temen penggemar Among Us.

Yang menarik adalah beberapa waktu lalu istilah impostor kembali mencuat berkaitan dengan cuitan ketidakpuasan massa pada sosok publik figur, salah satu pimpinan badan legislatif bikameral negri, Puan Maharani.

Beberapa meme yang bersliweran di medsos berlogo burung Tweety biru ini sempat mengisi lobus frontal saya dengan rasa kepo tingkat nasional, ehe ehe....

Bukan kasus politik Puan yang menggelitik saya, Kawan. Lagi pula, kasus ini sudah expired, kadaluwarsa, ga up to date lagi untuk dikulik dari angle politik saya yang dangkal.

Lalu apa yang menarik, Sobs? 

Oh yha, sebelumnya, mari kita berjanji bahwa apa yang akan saya tulis ini bukan merupakan alat bagi kita untuk melakukan self diagnose, atau menjatuhkan diagnosa kita pada orang lain. 

Apa Sih Impostor Syndrome?

Impostor yang identik sebagai penipu dalam game Among Us mengingatkan saya pada satu fenomena psikologi yang mempunyai kesamaaan istilah. Impostor Syndrome.

Impostor Syndrome adalah suatu kondisi di mana seseorang merasa telah "menipu" orang lain bahwa dirinya bukanlah seperti apa yang ada; bahwa ia tidak mempunyai keahlian atau kemampuan maupun kualitas diri yang memang patut dibanggakan. 

Seseorang yang mengalami fenomena ini mengatribusikan, menyatakan kesuksesan yang dimilikinya pada segala sesuatu yang ada di luar dirinya seperti kesalahan dalam proses penilaian, hanya karena dukungan penampilan, atau karena keberadaan orang lain, lebih sering terjadi adalah mereka menganggap kesuksesan yang diraih karena faktor keberuntungan semata.

Dari beberapa penelitian, fenomena Impostor Syndrome ini banyak terjadi di kalangan para fresh graduate yang baru saja terjun di dunia karir. 

Fenomena yang berawal dari penelitian Paulinne Clance dan Sussan Imes di tahun 1978, sempat mengungkap fakta dari sejumlah wanita karir yang berprestasi hanya menganggap segala pencapaiannya merupakan sebuah keberuntungan semata.

Namun, seiring berjalannya waktu beberapa penelitian mengungkapkan bahwa fenomena ini dialami oleh mereka yang berprestasi, baik laki-laki maupun perempuan.

Mengenali Karakter Impostor Syndrome 

Seseorang yang mengalami impostor syndrome bukan ingin merendahkan hati, namun lebih cenderung merasa bahwa dirinya tidak layak atas prestasi yang disandang. 

Seringkali merasa ragu, bahkan takut. Selalu timbul keinginan untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia benar-benar mempunyai kemampuan dalam bidang yang sedang digeluti. 

Individu yang mengalami fenomena ini merasa takut bahwa hasil akhir dari apa yang ia kerjakan tidak bagus. Ia akan berusaha sekuat tenaga agara usahanya tidak mengalami kegagalan. 

Ketakutan inilah yang seringkali mendatangkan stressor kuat pada seorang impostor, sehingga ia seringkali mengalami overthinking. Bila kondisi ini terus menerus berlangsung, maka akan mengakibatkan stres.

Pada dasarnya impostor syndrome bukan merupakan gangguan mental atau mental illness. Namun, dengan pembiaran dalam rentang waktu yang panjang, impostor syndrome akan berujung pada depresi. Ingat, depresi merupakan gangguan jiwa yang membutuhkan pertolongan khusus dari para ahli kejiwaan.

Bagaimana Siklus Impostor Syndrome?

Dalam siklusnya, individu impostor seringkali dikaitkan dengan karakter perfeksionisme.

Secara umum, siklus impostor terbagi menjadi dua pola.

Pola pertama, individu sebagai impostor akan bekerja lebih awal namun akan berusaha keras sedemikian rupa, sehingga dalam penyelesaian tugas biasanya membutuhkan durasi yang lebih lama. Ini dilakukan karena individu tidak ingin hasil akhirnya akan mengalami kegagalan. Ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan sesempurna mungkin.

Sedikit menyoal perfeksionisme. Menjadi perfeksionis sebenarnya bukanlah karakter yang buruk. Perfeksionisme dapat membangun pribadi yang berdisiplin, fokus dalam mengerjakan sesuatu, merapikan apa yang ada di masa depan, mendorong individu untuk mencoba menjadi lebih baik di masa mendatang.

Yang perlu diwaspadai ketika target tidak tercapai, keadaan tidak seperti yang diharapkan, tidak jarang seorang perfeksionis menjadi semakin terpuruk, stress, mengalami kecemasan (anxiety), bahkan depresi. Aduh, duh, duh....eman, Sobs. Mari peduli pada diri sendiri.

Pola yang kedua, adalah seorang yang impostor akan mengawali pekerjaannya pada saat menjelang tenggat akhir. Sehingga dengan capaian tertentu, ia akan menganggap bahwa kesuksesan yang diraihnya berasal dari faktor keberuntungan semata. 

Siklus ini menghinggapi mahasiswa atau pelajar pada tahap akhir penyelesaian tugas. Atau dapat juga seorang pekerja professional yang mempunyai kebiasaan menunda pekerjaan penting dengan pekerjaan yang kurang penting (prokrastinasi). Pada sutuasi seperti ini, biasanya orang yang mengalami prokrastinasi diidentikkan dengan kemalasan. 

Menerima Diri Sendiri Seutuhnya, Mengantisipasi Impostor Syndrome

Faset lain yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana supaya kita menjadi seimbang dalam segala hal. Terlalu mengejar masa depan, target, dan ekspektasi membuat seseorang lupa pada value, nilai, kemampuan pada diri sendiri. 

Impostor syndrome muncul karena rendahnya self efficacy. Self efficacy yaitu kepercayaan seseorang untuk meyakini diri sendiri dapat menaklukan segala tantangan hingga sukses.

Rendahnya self efficacy kemudian diasosiasikan sebagai rendahnya self esteem seseorang. Self esteem mengarah pada harga diri, seberapa besar individu menilai diri sendiri tanpa adanya rasa takut, cemas, percaya bahwa ia adalah pribadi yang penting dan menerima keseluruhan hidupnya secara utuh.

Siapa pun kita rentan bersinggungan dengan fenomena ini. Kesadaran dini pada fenomena ini merupakan langkah awal sebagai tindakan antisipasi kita menjadi impostor.

Langkah berikutnya adalah memahami bahwa asumsi orang lain bukan menjadi subyek capaian atau prestasi kita. Menyadari akan value atau nilai diri kita, kemampuan yang ada pada diri kita dengan menerima kita seutuhnya, seapa adanya kita.

Diharapkan dengan penerimaan diri seutuhnya, akan mengatasi perasaan; emosi; rasa cemas dan takut yang terkadang datang karena kegagalan, atau anggapan orang lain pada kesuksesan kita.

Namun demikian, perlu diingat, seseorang dengan self esteem tinggi bukan lantas merasa hebat dan selalu menyenangkan, tetapi mampu menerima dirinya sendiri secara utuh baik pada faset kelemahan maupun kelebihan kita. Mari peduli diri sendiri. Mari peduli pada diri sendiri.

Salam hening,
Penulis

*Sumber:
Mc. Kenzie, J. K.(1999). Correlation between self efficacy and self esteem in students. Retrieved February 18, 2007 from uwstout.edu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun