Hai, kawan...apa kabarmu hari ini? Masih berjuangkah dengan peliknya kehidupan? Well, terima kasih bagi kalian yang masih terus berusaha dan berjuang...kau hebat, Sahabat.
Tidak dapat disangkal bahwa kemajuan teknologi komunikasi, semakin melenggangkan kita dalam membuat definisi pada objek di sekitar kita, kemudian mengunggahnya ke dunia maya baik dalam bentuk gambar visual, maupun audiovisual.Â
Begitu gampangnya kita memberikan tanggapan atas peristiwa atau pun perilaku orang yang menyukakan hati atau pun yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita.
Lihat saja di republik Twitter. Bermacam celometan ala netizen maha tahu nangkring, berjejalan di kolom-kolom komentar. Mulai dengan yang tulus mendoakan proses kesembuhan publik figur yang terpapar Covid-19, hingga mereka yang mendoakan para publik figur tersebut agar "semakin dekat dengan Yang Maha Kuasa".Â
Hmmm, ada-ada saja para rakyat di republik berlogo burung biru itu.Â
Kecenderungan orang untuk memilih nyinyir pun tak jarang kita jumpai di dunia nyata, bukan? Mendengar orang lain menyanyikan lagu dengan suara pas-pasan, langsung berkomentar,"suara kek kerekan bendera gitu kok nyanyi."
Atau ada artis yang baru 3 bulan menikah tetiba bercerai, lalu kita mulai mencibirnya sambil berujar," ah, artis sensasional doang tuh."
Atau ada anak yang kesulitan mengerjakan tugas sekolah yang sederhana, maka secara spontan kita nyeletuk,"mbok yha yang cerdas dikit, masak gitu ajha ga bisa."
Atau ada juga yang dengan mudahnya menempelkan label toxic relationship pada relasinya, terlebih melabeli orang lain sebagai toxic people hanya gegara merasa tidak nyaman dalam berelasi.Â
Menilik ulang istilah labelling, American Psychological Association (APA) menyebutnya sebagai sebuah diskripsi seseorang terhadap individu lain melalui tingkah laku maupun karakter individu tersebut, sebagai bentuk dari tujuan pencapaian kepuasan dirinya.Â
Biasanya definisi ini timbul dari tingkah laku atau perkataan individu yang dianggap menyimpang dari norma yang ada atau anggapan bahwa perilaku tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi seseorang.
Sebagai contoh, adakalanya seseorang menyebut anaknya pemalas, hanya karena seringkali tidak mengerjakan tugas sekolah. Padahal, ada kemungkinan anak ini kesulitan dengan materi pelajaran yang bersangkutan.Â
Pemberian label "pemalas" kepada anak tersebut akan menimbulkan delikuensi, "pelanggaran" terhadap diri si anak.Â
Pada tahap awal, anak akan beranggapan bahwa pemalas adalah hal yang negatif.
Asumsi ini akan datang lagi setelah aksi yang sama; kejadian yang sama terulang kembali. Pelabelan yang tersimpan dalam hipokampus, akan muncul kembali, sehingga anak  meresponi label tersebut sebagai bagian dari dirinya.
Maka, tidak jarang pelabelan "malas" ini justru akan membentuk sikap dan karakter anak menjadi benar-benar malas.
Nah, bagaimana kalau memang anak kita benar-benar menjadi pemalas karena pelabelan kita? Waaah, rugi tanpa untung itu....
Mari melihat lebih dalam lagi. Terkadang kita pun mencoba memberi label pada diri sendiri. Seberapa sering kita mendengar seseorang atau kita sendiri pernah menyatakan hal seperti berikut ini.
"Oh, aku tuh introvert," benarkah kita introvert?Â
Mari berhenti sejenak, mungkin yang kita rasakan adalah perasaan malu ketika bertemu atau berhadapan dengan banyak orang. Tanpa kita sadari bahwa malu merupakan sebuah emosi yang kehadirannya dalam diri kita hanya bersifat temporer. Sesekali datang, namun akan segera pergi.
Sedangkan karakter introvert pada dasarnya tidak akan merasa malu bila berhadapan dengan banyak orang. Hanya saja ia akan menarik diri untuk recharge the energy. Setelah itu ia akan berbaur kembali dengan banyak orang.
"Dasar bawel!! Iyha, iyha, aku kerjain!!" gerutuan yang jamak kita dengar, bukan? Ya. Jamak. Terdengar lazim, yha?
Label "bawel" belum tentu merupakan karakter dari lawan bicara kita. Bisa jadi itu adalah bagian dari joke yang kita sematkan pada orang yang kita sayangi. Lucu-lucuan ajha, gitu.
Namun, tanpa disadari dalam alam bawah sadar orang tersebut telah tertanam, "oh, aku ternyata bawel", padahal belum tentu ia benar-benar bawel. Mungkin ada sebab tertentu ia harus banyak berbicara.
Pelabelan "bawel" ini kemudian dapat menjadi dasar bagi orang yang terlabeli tersebut menjadi benar-benar bawel.Â
"Papa nih yha, kenapa sih ga bisa rapi. Ngambil baju di lemari pasti semua jadi berantakan. Naruh handuk basah selalu di atas bed. Kenapa susah sih jadi orang yang rapi,"Â hehehe. Coba renungkan sejenak, pernahkah kata-kata ini kita dengar setiap hari?Â
Bukan ingin membela mana yang benar atau mendakwa yang salah, Kawan... Tapi, menyadari bahwa untuk merubah kebiasaan itu tidak semudah kita memencet tombol vote menarik atau bermanfaat yang disediakan Khey.Â
Semua harus berulang. Karena pada dasarnya dalam proses belajar, baik itu pada masa kanak maupun dewasa itu tidak jauh beda. Membutuhkan pengulangan.
Begitu pun proses terbentuknya karakter seseorang dari sebuah label yang mungkin secara tidak sengaja kita ungkapkan pada mereka. Sekali lagi, proses pembelajaran seorang anak maupun pada orang dewasa tidaklah jauh berbeda.
Satu hal yang saya pelajari dari pemberian label ini adalah label merupakan stimulan bagi kita, maka penting bagi kita belajar memberi jeda, sebelum kita meresponi stimulan tersebut.
Ini bukan hal yang mudah. Mengingat segala yang ada kini menuntut kita untuk merayakan "cepat" di dunia instant ini. Saya pun terkadang masih hanyut dalam merayakan cepat. Sehingga respon yang saya beri pada sebuah stimulan yang datang seringkali tidak tepat.
Bila ini terjadi, atau kita sadar label tersebut datang maka saatnya kita belajar memberi jeda antara stimulan dengan respon kita menggunakan meditasi, mindfulness; belajar siklus nafas, agar dapat memberi diri sebuah waktu, merespon tanpa terburu waktu.
Salam hening,
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H