Sebagai contoh, adakalanya seseorang menyebut anaknya pemalas, hanya karena seringkali tidak mengerjakan tugas sekolah. Padahal, ada kemungkinan anak ini kesulitan dengan materi pelajaran yang bersangkutan.Â
Pemberian label "pemalas" kepada anak tersebut akan menimbulkan delikuensi, "pelanggaran" terhadap diri si anak.Â
Pada tahap awal, anak akan beranggapan bahwa pemalas adalah hal yang negatif.
Asumsi ini akan datang lagi setelah aksi yang sama; kejadian yang sama terulang kembali. Pelabelan yang tersimpan dalam hipokampus, akan muncul kembali, sehingga anak  meresponi label tersebut sebagai bagian dari dirinya.
Maka, tidak jarang pelabelan "malas" ini justru akan membentuk sikap dan karakter anak menjadi benar-benar malas.
Nah, bagaimana kalau memang anak kita benar-benar menjadi pemalas karena pelabelan kita? Waaah, rugi tanpa untung itu....
Mari melihat lebih dalam lagi. Terkadang kita pun mencoba memberi label pada diri sendiri. Seberapa sering kita mendengar seseorang atau kita sendiri pernah menyatakan hal seperti berikut ini.
"Oh, aku tuh introvert," benarkah kita introvert?Â
Mari berhenti sejenak, mungkin yang kita rasakan adalah perasaan malu ketika bertemu atau berhadapan dengan banyak orang. Tanpa kita sadari bahwa malu merupakan sebuah emosi yang kehadirannya dalam diri kita hanya bersifat temporer. Sesekali datang, namun akan segera pergi.
Sedangkan karakter introvert pada dasarnya tidak akan merasa malu bila berhadapan dengan banyak orang. Hanya saja ia akan menarik diri untuk recharge the energy. Setelah itu ia akan berbaur kembali dengan banyak orang.
"Dasar bawel!! Iyha, iyha, aku kerjain!!" gerutuan yang jamak kita dengar, bukan? Ya. Jamak. Terdengar lazim, yha?