Label "bawel" belum tentu merupakan karakter dari lawan bicara kita. Bisa jadi itu adalah bagian dari joke yang kita sematkan pada orang yang kita sayangi. Lucu-lucuan ajha, gitu.
Namun, tanpa disadari dalam alam bawah sadar orang tersebut telah tertanam, "oh, aku ternyata bawel", padahal belum tentu ia benar-benar bawel. Mungkin ada sebab tertentu ia harus banyak berbicara.
Pelabelan "bawel" ini kemudian dapat menjadi dasar bagi orang yang terlabeli tersebut menjadi benar-benar bawel.Â
"Papa nih yha, kenapa sih ga bisa rapi. Ngambil baju di lemari pasti semua jadi berantakan. Naruh handuk basah selalu di atas bed. Kenapa susah sih jadi orang yang rapi,"Â hehehe. Coba renungkan sejenak, pernahkah kata-kata ini kita dengar setiap hari?Â
Bukan ingin membela mana yang benar atau mendakwa yang salah, Kawan... Tapi, menyadari bahwa untuk merubah kebiasaan itu tidak semudah kita memencet tombol vote menarik atau bermanfaat yang disediakan Khey.Â
Semua harus berulang. Karena pada dasarnya dalam proses belajar, baik itu pada masa kanak maupun dewasa itu tidak jauh beda. Membutuhkan pengulangan.
Begitu pun proses terbentuknya karakter seseorang dari sebuah label yang mungkin secara tidak sengaja kita ungkapkan pada mereka. Sekali lagi, proses pembelajaran seorang anak maupun pada orang dewasa tidaklah jauh berbeda.
Satu hal yang saya pelajari dari pemberian label ini adalah label merupakan stimulan bagi kita, maka penting bagi kita belajar memberi jeda, sebelum kita meresponi stimulan tersebut.
Ini bukan hal yang mudah. Mengingat segala yang ada kini menuntut kita untuk merayakan "cepat" di dunia instant ini. Saya pun terkadang masih hanyut dalam merayakan cepat. Sehingga respon yang saya beri pada sebuah stimulan yang datang seringkali tidak tepat.
Bila ini terjadi, atau kita sadar label tersebut datang maka saatnya kita belajar memberi jeda antara stimulan dengan respon kita menggunakan meditasi, mindfulness; belajar siklus nafas, agar dapat memberi diri sebuah waktu, merespon tanpa terburu waktu.
Salam hening,