Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tsundere, dari Dunia Manga hingga Toxic Relationship

22 November 2020   13:13 Diperbarui: 22 November 2020   13:22 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tsundere couple| via weheartit.com by @malee_verro


Toxic Relationship? Hmmm, jujur setelah saya membaca sebagian dari ulasan rekan Kompasianer, wuiiiih, keren yha. Two thumbs up for all of you. Terima kasih untuk semua yang mengulas hal ini. 

Topik ini selalu mempunyai daya magnet yang mengundang kita untuk mengulik lebih dalam. Meskipun kita meihatnya dari sudut yang berbeda, semua pasti menarik untuk dibincangkan.

Saya tidak akan menulis terlebih jauh mengenai apa sih sebenarnya hubungan beracun ini. Sudah banyak penjelasan keren dari Kompasianer lain. Hanya saja, ada satu hal yang seringkali belum mendapat perhatian tentang toxic relationship ini.

Pertanyaan buat kita, pernahkah kita merasakan betapa tidak nyamannya kita berada di posisi sebagai korban toxic relationship ini? Atau jangan-jangan tanpa kita sadari, kitalah yang selama ini menjadi toxic people untuk orang-orang terdekat kita? Apakah fenomena ini hanya terjadi di kalangan mereka yang sedang menjalin hubungan asmara saja?

Wew, I tell you what, I've been there before. Dan percayalah, itu ga enak. Menjadi seseorang yang bukan diri kita sendiri. Termanipulasi oleh kata-kata orang lain. Hidup di bawah tekanan. Selalu merasa bersalah. Untuk keluar dari situasi ini kita membutuhkan support system yang kuat. Baik dari pihak keluarga atau teman-teman kita.

Bila teman-teman ingin tahu tentang alur atau siklus toxic relationship, coba kunjungi artikel saya yang berjudul "Gaslighting: Mau Hangat Berelasi? Hati-hati Aktivitas Ini".

Tolong jangan mengira bahwa hubungan beracun hanya terjadi di antara kita yang menjalin hubungan asmara. Mungkin ada di antara teman-teman yang juga mengalaminya, namun kita tidak sadar sedang dalam hubungan tersebut, entah sebagai korban atau sebagai toxic people.

Relationship mencakup segala jenis hubungan. Mungkin yang sering terdengar oleh telinga dan terlihat oleh mata kita, bahwa kasus ini banyak terjadi di dunia per-asmara-an (duh semoga ada yang njawil saya kalau saya salah nulis.) Ini mungkin mewarnai pula dalam hubungan partner bisnis, teman sekerja, dalam keluarga, maupun dalam hubungan persahabatan.

Inti dari toxic relationship ini adalah ego sentris, adanya tindakan manipulatif, sering menyalahkan orang lain, merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, tidak mampu merasakan empati, merasa mempunyai posisi di atas orang lain.

Lalu apa hubungannya dengan judul di atas?

Seorang anak remaja berusia 15-16 tahun melegalkan pendapat tersebut. Ia dengan antusias menceritakan betapa karakter tokoh-tokoh manga atau anime yang memberi kesan tersendiri bagi ia dan kawan-kawan seusianya.

Di kalangan Weeboo, para penggemar anime dan manga, yang kita adopsi sebagai salah satu media entertain dari Jepang, mungkin istilah tsundere bukan lagi kata asing. 

Tsundere merupakan salah satu dari 4 karakter tokoh dalam anime maupun manga.

Selain Tsundere, ada Dandere, Yandere, dan Kuudere. Untuk lebih jelasnya, secara singkat kita kulik sebentar yuks apa itu tsundere.

Tsundere, dari gabungan kata "tsun tsun" dan "dere dere" yaitu karakter dengan sifat keras, dingin, atau juga agresif, untuk menutupi rasa suka terhadap karakter lain yang dicintainya. Namun bila tahu karakter lain tersebut juga menyukainya, maka ia akan berubah sikap menjadi sangat manis.

Well, singkat kata singkat cerita, secara sederhana saja, tsundere menggambarkan karakter yang selalu bertindak kasar, atau bersikap dingin tanpa empati kepada orang yang disukainya.

Nah, apa hubungannya dengan toxic relationship?

Tindakan kasar atau pun sikap acuh layaknya tanpa empati tokoh tsundere kepada orang yang disukai, selalu muncul di awal cerita. 

 "Bukankah karakter semacam itu juga terbentuk dari karakter orang dalam real life?"ujar anak remaja tadi kepada saya sambil menikmati free WiFi-nya di suatu sore.

Pertanyaan ini memunculkan pertanyaan lain dalam kepala saya. Bila memang betul seperti itu, bukankah karakter tsundere ini pun terbentuk dari daya imaji seseorang yang memang benar-benar ada di sekitar kita? 

Ada kemungkinan mereka yang menjalin hubungan asmara pun mengalaminya. Tindakan kasar, makian, kata-kata kasar, atau rasa acuh; tanpa empati menghiasi hubungan asmara, dengan dalih tidak mampu menunjukkan rasa cinta kepada pasangan sebagaimana lazimnya. 

Seberapa sering kita mendengar pernyataan yang sama dari seseorang yang seharusnya memberikan rasa sayang, aman kepada kita. Coba kita renungkan, untuk membenarkan susu yang berwarna putih dapatkah dengan menyatakannya berwarna hitam?

Bagaimana bila toxic relationship ini terjadi dalam urusan di luar asmara? Mungkin terjadi dalam relasi antara atasan dan bawahan. Dalam dunia kerja, misalnya. Ada seorang manajer yang memanipulasi karyawannya dengan memberikan ujaran-ujaran yang membuat bawahan menjadi tertekan. Bila terjadi terus menerus maka akan mengakibatkan beban bagi karyawan tersebut. 

Atau dapat juga kita temui di lingkungan keluarga, di mana seorang istri mengalami tindak kekerasan hampir setiap hari oleh sang suami. Atau mungkin ada orang tua yang menuntut anaknya mengikuti keinginannya mendapatkan gelar kesarjanaan yang bukan menjadi minat si anak. 

Banyak ragam toxic dalam relasi kita, selain relasi asmara. Bagaimana dengan satu cerita seputar toxic parenting berikut.

Saya mengenal seorang perempuan berusia kurang lebih 45 tahun. Dulu, kami berteman dekat. Kami berdua sempat tergabung dalam wadah Karang Taruna. Namanya Indah, begitu saja, yha kita menyebutnya.

Saat ini dalam kondisi stres akut. Ada beberapa ingatan yang masih melekat. Namun beberapa sudah menghilang seiring trauma yang dideranya semenjak muda. 

Berawal dari berapa pemuda yang berusaha meminangnya, selalu ditolak oleh orang tuanya hanya karena status sosial (gelar pendidikan) yang lebih rendah dari Mbak Indah, atau ada juga dengan alasan "materi" yang selalu diangap orang tua kurang cukup.

Semua pemuda yang datang selalu ditolak. Pada akhirnya, Mbak Indah merasa minder; mulai menarik diri dari komunitas kami. Kondisi tersebut diperburuk dengan masyarakat yang melabelinya dengan perawan tua. Sepeninggal orang tuanya, ia tak mampu lagi menahan tekanan hidup tatkala adik semata wayangnya menikah dan hidup dengan keluarga barunya.

Beberapa kali kami sempat berbincang, dan yha,...sekali waktu bula bertemu, saya hanya bisa mendengarkan ceritanya yang ngalor ngidul, nggak jelas, sambil sesekali menimpalinya dengan jawaban yang ala kadarnya. 

Orang-orang di sekitarnya menganggap ia telah gila. Tapi, tidak. Saya melihatnya masih memakai baju rapi, berganti pakaian (meskipun saya tidak tahu di mana ia tinggal), ia yang dulu sempat mengajar sebagai dosen jurnalistik di salah satu universitas swasta di Solo, kini hidup tanpa ada satu pun keluarga yang peduli padanya. Ke sana ke mari tanpa arah yang jelas. 

Terkadang terbersit angan dalam benak saya. Andai saja dulu orang tuanya mau menerima satu dari mereka yang mencintai Mbak Indah, tanpa menilai dari sisi "sempurna" sesuai anggapan mereka, mungkin keadaan Mbak Indah tidak akan seperti ini.

Lalu bagaimana mengatasi toxic relationship tipe ini?

Dalam hubungan asmara --sebelum pernikahan-- tentu saja hanya kesadaran untuk memutus hubungan beracun itu sajalah cara ampuh agar kita tidak terus tersakiti dalam hubungan toxic tersebut.

Lha kalau hubungan keluarga? Bagaimana bila kita sebagai korban toxic parenting? Tidak mungkin memutus hubungan dengan orang tua, bukan? So, ini saran saya, yha....

SATU. Sadari bahwa masing-masing kita adalah pribadi yang utuh. Termasuk anak-anak. Berhenti merasa bahwa kita "bergantung" pada orang tua. Ada masa ketika kita sebagai anak-anak harus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan siapa diri kita sendiri. Bukan bagian dari harapan masa lalu orang tua yang belum tercapai.

DUA. Bila diperlukan, maka memberi jarak untuk kebaikan diri sendiri perlu dilakukan. Beberapa ahli psikologi beranggapan bahwa memisahkan diri dari ketergantungan pada orang tua dengan cara hidup mandiri terpisah dari orang tua akan menjadikan pembelajaran tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan diri kita.

TIGA. Bilamana kita dalam kondisi yang benar-benar tidak dapat meninggalkan orang tua dan mau tidak mau harus hidup bersama orang tua kita, mari belajar untuk sedikit melonggarkan diri. 

Berhenti bertanya mengapa orang tua saya bersikap begini dan begitu. Stop doing like that. Cobalah untuk menggantinya dengan pertanyaan apa yang bisa saya lakukan atas kondisi ini? Sebisa mungkin, buat orang tua kita merasa nyaman, dan aman. Sehingga rasa kuatir yang seringkali menghinggapi orang tua kita akan berkurang.

Saya tahu ini tidak akan mudah. Tapi mereka adalah orang tua kita. Dan bagaimana pun juga, kita tidak mungkin merubah orang lain. Bila pun orang lain berubah, itu karena ada keinginan dari dalam dirinya sendiri untuk berubah.

Demikian post saya kali ini, terima kasih and see ya..

*Ps. For Mha, tengkyu bantuannya, big guy...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun