"Manusia seharusnya tidak bertanya tentang makna hidupnya, melainkan sadar bahwa dialah yang akan ditanyai."Â (Viktor E. Frankl)
Ahay, here we go again...ketemu lagi nih.Â
Biar ga monoton, kuy, hari ini kita obrolin yang receh ajha yah, yang penting engga reseh ko ...
Gimana hari-harimu, Kawan? Sehat-sehat ajha, kan? Well, hope so. Kalaupun ada yang sedang berjuang dengan sakit dan lemah tubuh, stay strong yha.
Somehow, I remember these words...
Ingat, hati yang gembira adalah obat, tapi semangat yang patah akan mengeringkan tulang.
Sebenernya ide ini sudah numpuk di lobus frontal saya sedjak dinosaurus belajar ketawa. Alias ide jadul. Cuman, beberapa hari terakhir kok saya jadi ngerasa topik ini penting juga untuk dibuka lagi. Hanya untuk sekedar mengingat-ingat.
Ga gampang menyikapi kondisi terakhir ini. Pandemi, sikon yang tak pasti, keamanan, kekuatiran, ketakutan, bingung ga ngerti besok musti bagaimana, dan berbagai situasi yang dapat kita jadikan alasan mengapa kita sulit untuk bahagia.Â
Bahagia.... Ya, denting pagi saya hari ini tetiba membawa saya pada kata, bahagia. Bukankah setiap kita menginginkannya?Â
Standarnya sih boleh saja berbeda-beda. Karena setiap kita, menurut Mark Manson blogger tenar penulis buku "The Subtle Art of Not Giving a F_ck_" , setiap orang memiliki standar masing-masing untuk menilai segala sesuatunya. Termasuk tentang kebahagiaan.Â