Suara air kran terdengar jelas. Terang saja, aku duduk disekat tembok dengan toilet. Bau amoniak segera menyeruak hidung. Suara sayup adzan subuh terdengar lirih dari ponsel milik salah seorang pasien yang berjarak selang satu bilik dengan bilik bapak.
Pukul 01:14 waktu menunjukkan dengan yakinnya via ponselku. Huh, bau tak sedap dari kamar mandi ini begitu menggangguku. Seandainya saja petugas kebersihan di rumah sakit ini sama cekatannya dengan pembantu di mall mewah yang berjajar di jalan-jalan protokol kota.
Cerita ini aku unggah saat mata tak mau terpejam meski sesaat. Aku mencoba keluar ruang bilik yang menampung lima pasien, termasuk Bapak.Â
Ugh, pegal punggungku terasa begitu nyeri. Ranitidine lekat dalam saku celanaku. Siap untuk kuminum sebutir.
 Tapi, oh, perutku terasa perih nian. Kucoba keluar kamar. Dari balik dinding kaca rumah sakit, kulihat kerling lampu rumah penduduk. Membawaku pada ingatan setahun yang lalu, di atas bukit kala malam, bersamanya.... hmmm....masa lalu...menyisakan apa?
Kata guru meditasiku, biarkan pikiran itu datang, lalu lepaskan untuk pergi. Ah, itu tidak pernah berhasil denganku. Kata bliau, "Tidak apa, semua butuh proses "
Tuhan, ada apa denganku? Aku ingin segalanya usai. Apa maunya? Tiba-tiba datang, tiba-tiba pergi. Dasar pikiran!!
Sialan, perutku mulas lagi ! Ini sudah ke empat kalinya aku harus mondar-mandir toilet. Mana toilet rumah sakit tak mungkin syahdu layaknya di rumahku. Harus campur banyak orang. Bayang pun, orang sehat atau penyakitan, toiletnya cuman ada satu. Ya semacam,.... satu untuk semua...Â
Karena jauh dari ruang opname Bapak, aku mencari bunker toilet terdekat untuk meluluskan panggilan alam. Selepas hajat alamiah kubuang, perut terasa sedikit lega. Di dekat pintu keluar, aku bertemu seorang ibu. Mungkin usianya sekitar 60 ke atas. Rambutnya putih, kulitnya pun pucat. Raut mukanya masam. Bibirnya mengerucut.
Aku mencoba tersenyum menyapa. Namun, lirikan kosong yang kuterima. Well, tak mengapa, aku bukan peminta balas jasa. Atau mungkin saja ibu itu sedang menikmati tuntutan semesta, sama sepertiku yang baru saja usai memenuhi panggilannya.
Kuurungkan niat ke kantin rumah sakit yang kata seorang kerabatku, masakan selat-nya terkenal seantero jagat. Aneh memang. Makanan luhur seagung selat Solo yang paling masyur kok ada di kantin rumah sakit.
Mungkin memang begitu. Lidah orang kan subyektif. Baik rasa hasil olah masakan dan rasa hasil olah pikiran semua ga ada standar baku. Hanya saja, bagiku rumah sakit tetaplah rumah bagi yang sakit. Masakan seenak apa pun baunya pasti satu. Karbol. Ingat, rasa itu subyektif. Kau pun boleh berpendapat lain.
Namun niat hanyalah tinggal tekad. Kembali mataku melirik jam dinding di dekat patung besar yang berdiri di sudut lorong rumah sakit. Pukul 01:31. Lagi-lagi, aku menyerah pada sang waktu.
Urat nadi kebosanan mengurungku kembali ke kamar tempat Bapak terbaring. EKG masih berdenyut. Senada dengan detak jantung Bapak.
Terdengar isak tangis dari bilik sebelah. Sangatlah jelas. Maklum, kartu BPJS kelas tiga hanya mampu mengantarkan kami di ruangan bersekat tirai polos berwarna toska.
Kuintip dari balik tirai bilik Bapak sebentar, agar rasa haus infoku terobati. Pas. Pasien ruang 576 A. Penderita hematemesis melena, terpaksa harus ikhlas melepas sukma. Kini membujur kaku di atas bed yang ditarik ke arah ruang jenazah.
Namun satu yang membuatku terpana, wajah almarhumah itu persis sama dengan wanita yang sempat bersua denganku di toilet luar ruang sana. Ugh! Yang begini ini yang aku tak suka.
Kututup tirai. Kugenggam jemari Bapak yang baru saja turun dari meja operasi. Melihatku meringkuk di atas kursi tunggu dengan tangan gemetaran di sela jemarinya, Bapak terbangun.Â
"Kenapa? Ketemu temenmu lagi?"
"Tapi tadi beneran, Pak. Aku ketemu,"
"Ya iya. Kamu kan disukai mereka,"sungguh nyinyiran terindah yang pernah kudengar.
Bapak kembali hanyut dalam tidurnya. Serasa mimpi indah menang undian rumah ingin diulangnya kembali.Â
Mengucap doa sepenuh hati, aku kembali mencoba menenangkan diri. Bila dalam keadaan begini, baru kuingat Sang Ilahi. Oh, ampunilah diriku, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.
Kugelar tikar. Aman, pikirku.Â
Ponsel kunyalakan. Kupasang headset erat menyembunyikan sepi di tengah ruangan, usai jenazah di bilik sebelah berpindah tempat.
 Terdengar lembut alun simponi nada dari musik digitalku. Kucoba pejamkan mata. Sesaat bayangan Babank ayangku kembali lewat di angan. Ada rasa senang, sedikit senyum kulepas ikhlas. Tapi, dalam sekejap, ada rasa sebal karena ia tak kunjung datang. Huh, musim semi apaan? Katanya mau pulang. Ternyata, wabah Corona yang menjelang.
Lewat beberapa detik kemudian, datang logika melawat angan. Eh, tapi biarkanlah. Teringat lagi kata guru bijakku, yang namanya mencintai harus mengurangi menguasai. Eurekaaa!!Â
Ngapain juga mikirin yang ga penting. Bukannya Ayangku kerja biar bisa bangun rumah sekapling. Agar hidup tak lagi pontang-panting. Selamat menunaikan kodratmu, Beib. Aku di sini menunggu.Â
Lhoh...lhoh...ini bau pembersih lantai wangi banget, ya? Bukan bau karbol seperti biasanya. Mungkin pihak RS sudah mengganti karbolnya. Tapi, ini seperti wangi...kembang kuburan. Cuma perasaanku atau memang begitu? Karena kurang kerjaan, aku menciumi lantai. Hueeek ...
"Ngapain kamu ciumin lantai? Jangan-jangan kamu belum makan ya? Lama-lama kamu jilat tuh lantai sekalian," ujar Bapak yang tersadar sebentar, minta minum, lalu kembali tidur.
Tapi bener. Sweeer ini bau sudah kepalang mengisi lobus frontalku. Setelah mengembalikan gelas Bapak, kembali aku terbaring sejenak. Kuraba headsetku. Tak jua ketemu. Kulihat di kolong tempat tidur Bapak. Haiiiiissshh.....
Sepasang tangan putih. Dingin. Sedingin daging semur dari freezer Chef Juna, tetiba muncul dari bawah bed, Â menarikku kuat. Namun dengan gaya aksi reaksi Newton, sekuat tenaga pula aku memberontak. Untung di alam bawah sadar kusimpan file rapelan, 'God you have saved my country. Now, please save me !!!!'
Aku melompat ke tempat tidur Bapak. Tak pedulikan lagi sebesar apa badanku; setua apa aku; seberapa banyak umurku. Aku memeluk erat badan renta Bapak. Untung jantung Bapak tidak turut melonjak.
"Ayo, Pak. Cepet pulang....aku kangen rumah, ayo pulang," rintihku ditengah sesenggukan tangis ketakutanku. Sedang Bapak masih tertidur mendengkur, tiada tahu diriku yang takut tak terukur.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H