Melihat tingginya angka perceraian, sepertinya membutuhkan effort panjang bagi setiap pasangan untuk tetap mempertahankan pernikahan.
This is an advise, my bestie ever share it to me.
Sebelum menikah buka mata lebar-lebar, cari pasangan hidup yang benar-benar mampu menjalankan fungsinya masing-masing. Setelah menikah tutup mata rapat-rapat, serahkan kemerdekaan masing-masing agar dapat menemukan kesesuaian kompetensi.Â
"Kemerdekaan?" tanya saya.
"Yups, bila kemerdekaan seseorang; kebebasan seseorang diserahkan maka willingly ia akan melepaskan apa yang ada padanya, tanpa terkecuali, ego. Kalau dalam pernikahan hanya satu pihak saja yang menyerahkan kebebasannya, maka kacaulah rumah tangga," jelas teman saya.
Lalu sampailah kami pada pertanyaan mautnya, "So, when will you get married?"
"Ooowh, not again....."
Oh yha, satu hal lagi yang tidak ingin saya lewatkan adalah fakta bahwa anak-anak mempunyai pilihan yang mengguncang rasa kepo saya.
Dari sekian banyak anak middle adolescent penyintas broken home yang saya jumpai, sebagian besar dari mereka lebih memilih orangtua mereka berpisah sehingga mereka menjadi waras mental, tanpa mendengarkan pertengkaran orangtua daripada terus memaksakan bersama, tetapi kejiwaan mereka terganggu.
Hmmm,...PR lagi bagi orang tua untuk semakin bijak mengelola pernikahan.
Demikian kisah hidup saya, yang hingga kini masih sibuk belajar dari Sang Guru kehidupan. Sekali lagi, Temanku, sharing for caring....