Namun, ada hal lain yang patut kita sadari, mengingat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka beberapa orang lebih memilih untuk bercerai.
Seperti halnya dengan salah seorang teman sekantor saya yang juga terpaksa harus memilih untuk bercerai, karena mantan suaminya sering melakukan tindak kekerasan baik dalam ranah privat maupun publik.Â
Parahnya, hingga kini ia masih belum bisa melupakan trauma kekerasan yang dilakukan oleh mantan suaminya dahulu. Begitu pun dengan anak-anaknya.Â
Begitu banyak faktor yang memicu terjadinya perceraian. Baik itu secara internal maupun eksternal. Apakah aneh bila saya menganjurkan untuk tetap mempertahankan pernikahan Anda? Akan tetapi, bila ingin memilih perceraian, maka bukan hanya kesiapan dalam hal materi saja yang harus dipertimbangkan.
Bukan hal yang mudah bagi setiap penyintas perceraian menjalani hidup pasca bercerai. Begitu pula dengan perjalanan kami --saya dan anak-anak -- untuk menerima apa yang terjadi. Proses letting go membutuhkan waktu bertahun-tahun.Â
Luka akibat perceraian disertai peristiwa masa lalu yang tidak mengenakkan batin terasa begitu tajam menancap pada memori kami.
Anak-anak sempat bertumbuh dalam rasa ketakutan dan trauma yang menyebabkan mereka menjadi minder dan kurang dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya.
Hingga saya memutuskan untuk mengikat kembali silaturahmi kami dengan ayah mereka. At least, saya meminimalisir penyebaran penyakit Fatherless World. Di dunia ini banyak kasus kenakalan remaja berakar dari masa lalu menyakitkan yang bersumber pada peran ayah yang tidak dijalankan dengan benar.Â
Menyadari pula bahwa bagaimanapun juga kehadiran sosok ayah, baik secara fisik maupun psikis tidak dapat digantikan dengan apa pun.
Bukan maksud saya mengecilkan peran seorang ibu, but we have our own responsibility. Dalam sebuah keluarga, masing-masing anggota mempunyai peran yang tidak dapat tergantikan.Â
Setelah tali silaturahmi terjalin, lalu pengampunan itu datang, apakah masalah langsung terselesaikan? Tidak juga.