Mengulik Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, Stephany Hamarman dan William Bernet menyebutkan definisi dari verbal abuse adalah sebuah bentuk kekerasan yang dapat melukai harga diri dan perasaan orang lain melalui kata-kata.
Bahkan bila diperbolehkan, hingga beberapa waktu terakhir ini, secara tidak sadar, orang tua melakukan verbal abuse dengan mengunggah foto-foto yang disertai caption yang daat mempermalukan anak di ranah publik.
Bentuk-bentuk konkrit dari verbal abuse dapat kita jumpai pada saat orang dewasa berteriak, menjerit, memaki, mengancam anak, mempermalukan anak di ranah publik, memperolok anak-anak -termasuk para remaja - dengan perkataan-perkatan bernada mengejek, mengatakan bodoh, anak tidak baik, jelek, atau bisa juga menyatakan bahwa segala kegagalan dan kesalahan yang terjadi selalu bersumber pada anak-anak.
Anak-anak adalah plagiat ulung dari setiap ucapan dan tindakan kita. Apabila kita sebagai orang dewasa secara terus-menerus melakukan verbal abuse sebagai sebuah kebiasaan, maka verbal abuse ini pulalah yang akan mereka wariskan pada anak-anak mereka di masa yang akan datang.
Lha tapi bukankah kita perlu rotan untuk mengajarkan pada anak tentang kedisplinan?
Sebelum kita menggunakan verbal abuse sebagai opsi, lha markica...mari kita baca lebih jauh tentang dampak perlakuan verbal abuse pada anak.
Pertama, kebiasaan verbal abuse pada anak menghambat pertumbuhan self esteem pada anak. Kata-kata yang merendahkan kemampuan anak, mengungkit kesalahannya, arau  mungkin body shaming akan mengakibatkan anak memilikicitra diti yang negatif, yang diikuti oleh rasa minder.
Kedua, kebiasaan ini akan menghambat perkembangan sel-sel otak anak. Teriakan, bentakan yang kita ungkapkan pada anak akan mengakibatkan anak dalam keadaan yang terancam.
Pernahkah suatu ketika kita berusaha menjelaskan kepada anak tentang tugas sekolahnya, akan tetapi si anak tidak kunjung mengerti. Atau dengan berjuta cara kita mencoba untuk menjelaskan bahaya terlalu lama di depan gawai, tetapi anak tersebut malah ngeyel, ngotot dengan pendiriannya. What will we do? Â
Kelelahan fisik dan psikis orang dewasa acapkali memicu perdebatan, kemudian berakhir pada kemarahan berwujud teriakan, bahkan mungkin bentakan yang menghasilkan kata-kata kasar yang sesungguhnya tidak kita inginkan.Â
Akibat dari verbal abuse ini memunculkan rasa takut; menyebabkan anak tidak dapat berpikir panjang sehingga seringkali faktor ini mampu memicu anak untuk bersikap lebih agresif.