Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Berdamai dengan Anxiety di Masa Pandemi, Antara "Helpless" dan "Hopeless"

7 Agustus 2020   19:19 Diperbarui: 8 Agustus 2020   20:51 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: decide | sumber: pixabay.com

Hai, kawans....

Bagaimana kabarmu hari ini? Kuharap kau baik-baik saja. Tapi, tunggu dulu. Bila kau tak baik-baik saja, itu pun tak mengapa.

Kadang, saya juga merasa berada dalam keadaan yang tak baik-baik saja. Sedang sedih, cemas, galau, bimbang, atau sedang dalam lemah tubuh.

Tidak perlu terburu-buru untuk menjawab baik-baik saja, bila memang kita sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang salah untuk berkata bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Mengapa harus menjawab baik-baik saja?

Malu? Sungkan? Tidak ingin dibilang suka sambat? Atau hanya sekedar ingin menjawab lalu menyudahi pertanyaan teman?

Hmmmm, banyak sekali alasan yang mungkin tersembunyi di balik kata "baik-baik saja".
Manusia semenjak kecil diperkenalkan pada pilihan kata "baik", dan menjauhi segala sesuatu yang "buruk". Lantas apakah pemikiran tersebut salah? Tidak juga, tetapi menerima yang tidak baik dalam diri kita pun bukan hal yang buruk.

Menampilkan sesuatu yang baik itu engga salah ko, Sob... Ya, asalkan dalam takaran yang sewajarnya. Bukankah yang berlebih atau terlalu kurang itu sama-sama ga bagus?

Bicara soal kabar di masa pandemi, akhir-akhir ini masyarakat kita diperhadapkan pada dua persoalan pelik, antara kesehatan dan urusan perut.

Tentang kabar pernyataan Menkeu mengenai kondisi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II tahun 2020 menimbulkan pertanyaan di berbagai kalangan masyarakat. Apakah Indonesia akan mengalami resesi menyusul Singapura dan Korsel? We never know....

Yang jelas, Pemerintah berusaha mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi masyarakat, sehingga ekspektasi Pemerintah pada triwulan berikutnya ekonomi masyarakat akan bertumbuh sebesar 0-0,5 persen. Segala upaya telah dilakukan, bahkan dengan memberi dana insentif sebesar 600 k per bulan, sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku. Efektifkah? We never know...

Keresahan dan problem masyarakat yang dahulu berkisar di bidang kesehatan bergulir ke arah keresahan di sektor ekonomi. Bukan hal yang aneh, bila nantinya keresahan ini pun akan bergeser ke arah keamanan --huffth, saya harap tidak akan terjadi--masyarakat.

Tidak ada yang pasti di bawah kolong langit ini selain ketidakpastian itu sendiri. Pandemi ini, misalnya. Kapan akan berakhirnya, kita tidak akan pernah tahu. Akan memakan berapa banyak korban lagi, kita pun tak punya jawaban pasti. 

Andai saja ini semua memang sebuah siklus yang harus kita jalani bersama, mungkin akan didapati layaknya bentang grafik sinus trigonometri dalam satu periode putaran sudut  lingkaran. Ada bukit dan ada lembah. 

Semua terangkai sedemikian rupa, terbentuk dari sebuah proses. Kitalah yang sedang berproses. Apakah kita akan tetap baik-baik saja? Once again, we never know... 

Sadari ketakutan adalah sebuah emosi

Perasaan takut mungkin kadang menghampiri. Berbagai macam pertanyaan "why" dan "bagaimana" menghiasi isi kepala kita. 

Mengapa ini harus terjadi? Mengapa pandemi ini tak segera berakhir? Bagaimana mungkin saya meneruskan kuliah, padahal orang tua saya sudah tiga bulan ini di-PHK? Mengapa harus ada pandemi, hingga pernikahan saya ditunda?

Masih banyak pertanyaan lain yang kemudian memicu kita untuk terus berpikir bahwa semua penderitaan ini tak akan pernah berakhir. Lalu ketakutan mulai hadir. Bahkan kepanikan telah mengintip di belakang tabir.

sumber: pixabay.com
sumber: pixabay.com
Adalah hal yang normal bila kita merasa bingung dan takut. Itu manusiawi. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari keberadaannya. 

Menurut dr. Jiemy Ardian SpKj, psikiater Silloam Hospital, yang perlu kita lakukan adalah menyadari, mendengarkan, dan mencoba menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh rasa takut tersebut. Kemudian mengambil tindakan atas perasaan takut itu.

Takut merupakan sinyal bagi kita. Alarm bahwa ada sesuatu hal yang akan datang sebagai sebuah ancaman, sehingga amygdala akan memberi sensor supaya kita waspada.

Dalam segala kesulitan dan himpitan masalah selalu ada pilihan.

Dalam bukunya Man's Search for Meaning, seorang psikiater yang menjadi tawanan kamp konsentrasi, Viktor E. Frankl berkata, "Apapun bisa dirampas dari manusia kecuali satu : kebebasan terakhir manusia -- kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri".

Menarik, bahwa saat ia berada dalam kondisi yang tertekan, baik secara fisik maupun mental sebagai seorang tawanan, ia berusaha untuk memilih memperjuangkan harapan hidupnya dengan mencari distraction agar kesulitan yang menghimpitnya teralihkan.

Harapan? Ya, despite of all stressors, ia memilih untuk tidak terpicu dengan kesulitan tersebut. Ia memilih kebebasan pikirannya to distract the distraction. Kebebasan yang tiada satu kuasa pun mampu menindas dan menekannya.

Kita sedang merasa tidak nyaman? Ya, memang ga nyaman. Kita pun tak dapat menyangkal segala penderitaan ini. Tetapi, kondisi sulit ini bukan hanya kita sendiri yang menjalaninya. Hampir semua orang di muka bumi mengalaminya.

Somehow, keputusasaan adalah ketika kita tidak mampu memberi makna pada penderitaan

Standar kebahagiaan kita bukan standar kebahagiaan orang lain.

Kebahagiaan kita adalah tanggung jawab Kita masing-masing. Kita tidak dapat menangguhkan kebahagiaan kita sebagai beban dan tanggungjawab orang lain. Begitu pula emosi.

Seorang Guru meditasi pernah berkata pada saya bahwa, sebagaimana standar kebahagiaan seseorang berbeda antara satu dengan yang lain, maka begitu pula  dengan pengelolaan emosi kita. Kita sendirilah yang harus bertanggungjawab pada emosi kita; pada perasaan kita. 

Kita sendirilah yang menentukan dengan standar apa sebuah kebahagiaan itu dicapai. Ruas emosi adalah ranah privasi kita, bukan orang lain atau kondisi di sekitar kita.

Standar yang kita gunakan dalam menentukan sebuah keberhasilan mengelola perasaan, tidak dapat kita paksakan pada orang lain. Begitu pun sebaliknya. Kita tidak dapat menggunakan standar orang lain untuk mengelola emosi kita.

Well, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Hari esok punya kesusahannya sendiri. 

Apa yang tidak mampu kita kendalikan, biarkan saja berjalan di luar kendali kita. Kondisi ini, pandemi, keadaan ekonomi, dan segala hal yang tak pasti biarlah terjadi. 

Jika saja saya punya jalan keluar dan jawaban atas ketidakpastian ini, maka akan saya bagikan. Namun, sekali lagi. Tidak ada satu pun dari kita yang mempunyai jalan keluar yang pasti.

Hanya saja, mari kita kendalikan apa yang mampu kita kendalikan. Stay safe, stay healthy, stay strong and firm.

*Solo,.....kembali belajar dari Sang Bijak, helpless is a condition, but hopeless is a decision.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun