Tidak ada yang pasti di bawah kolong langit ini selain ketidakpastian itu sendiri. Pandemi ini, misalnya. Kapan akan berakhirnya, kita tidak akan pernah tahu. Akan memakan berapa banyak korban lagi, kita pun tak punya jawaban pasti.Â
Andai saja ini semua memang sebuah siklus yang harus kita jalani bersama, mungkin akan didapati layaknya bentang grafik sinus trigonometri dalam satu periode putaran sudut lingkaran. Ada bukit dan ada lembah.Â
Semua terangkai sedemikian rupa, terbentuk dari sebuah proses. Kitalah yang sedang berproses. Apakah kita akan tetap baik-baik saja? Once again, we never know...Â
Sadari ketakutan adalah sebuah emosi
Perasaan takut mungkin kadang menghampiri. Berbagai macam pertanyaan "why"Â dan "bagaimana" menghiasi isi kepala kita.Â
Mengapa ini harus terjadi? Mengapa pandemi ini tak segera berakhir? Bagaimana mungkin saya meneruskan kuliah, padahal orang tua saya sudah tiga bulan ini di-PHK? Mengapa harus ada pandemi, hingga pernikahan saya ditunda?
Masih banyak pertanyaan lain yang kemudian memicu kita untuk terus berpikir bahwa semua penderitaan ini tak akan pernah berakhir. Lalu ketakutan mulai hadir. Bahkan kepanikan telah mengintip di belakang tabir.
Adalah hal yang normal bila kita merasa bingung dan takut. Itu manusiawi. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari keberadaannya.Â
Menurut dr. Jiemy Ardian SpKj, psikiater Silloam Hospital, yang perlu kita lakukan adalah menyadari, mendengarkan, dan mencoba menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh rasa takut tersebut. Kemudian mengambil tindakan atas perasaan takut itu.
Takut merupakan sinyal bagi kita. Alarm bahwa ada sesuatu hal yang akan datang sebagai sebuah ancaman, sehingga amygdala akan memberi sensor supaya kita waspada.
Dalam segala kesulitan dan himpitan masalah selalu ada pilihan.