Menggalang buku bekas? Yha. Di luar dugaan, aksi penggalangan buku bacaan bekas ini disambut oleh rekan-rekannya.Â
Lokasi rumah yang jauh tidak menyurutkan semangat untuk mengambil buku bekas milik kawannya hingga ke kawasan Solo Baru yang berjarak kurang lebih 3 kilometer dari rumahnya. Belum lagi yang ada di daerah Palur, bila diukur jaraknya, ya, sekitar 6 kilometer dari rumahnya.
Sewaktu saya bertanya, apa motivasinya untuk mengumpulkan, kemudian mengirim buku-buku bekas tersebut ke NTT, raut mukanya memerah. Matanya berkaca-kaca.Â
Ia hanya berkata, "Miss, Winsi cuma pengen, temen-temen di Tanakapu juga punya wawasan seperti Winsi dan semua temen-temen di sini."
Dari sekelumit cerita Winsi ini saya merasa ada sesuatu yang menarik. Tentang berbagi? Tentu saja. Namun ada hal lain yang tidak kalah menariknya. Bahwa menjadi kaya hanya perlu kata cukup.
Seberapa banyak dari kita yang menumpuki diri dengan hal-hal yang sebenarnya sudah tidak kita butuhkan lagi. Pakaian yang tak pernah kita pakai masih tertumpuk di lemari baju. Buku-buku atau majalah bekas yang sejak kecil masih kita koleksi hingga berdebu di ujung rak buku kita.Â
Tengoklah, adakah mainan anak-anak kita yang kini beranjak dewasa masih tersimpan entah di sudut gudang sebelah mana? Atau barang-barang elektronik lecet yang sengaja kita simpan hendak kita perbaiki tapi tak pernah punya waktu luang?
Pernahkah kita berpikir, bahwa kita tidak akan kekurangan bila kita mulai menguranginya, kemudian kita bagikan pada mereka yang membutuhkan. Bila sudah berkurang ya sudah, biarkan saja kosong. Tak perlu kita sibuk mengisinya dengan hal lainnya lagi.
Sadarkah kita, bahwa dengan hidup cukup kita belajar untuk tidak kuatir pada kekurangan?
Winsi mungkin saja berkata, ia belajar berbagi, belajar menghargai, dan bersyukur dari anak-anak Tanakapu. Tapi tanpa sadar ia pun telah mengajari saya bagaimana untuk bersikap sebagai orang kaya, meski dengan kata cukup.
Salam,
Penulis