Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Antara Brussel dan Overste Slamet Riyadi Street

13 Juni 2020   19:00 Diperbarui: 14 Juni 2020   19:44 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: freepik.com/frimufilms

Kepada kekasih hati yang senyumnya mendiami pelupuk mata di saat sadar dan tidurku,

Menulis suratku yang ketiga ini seolah aku berbincang denganmu seraya menikmati langit biru Brussel-mu, angin meniup lembut rumput Arc du Cinquantenaire, dan mendengarmu bercerita indah tentang segala histori dan keperkasaan dinding-dinding kuno di masa lampau.

Bila saja kau tahu, aku mengagumimu ketika itu. Mengapa kau tak mengerti, bahkan dalam setiap senyum yang kau hamburkan untukku, Tuanku, aku memujamu.

Kekasih pemilik mimpi-mimpi indahku,  terimakasih telah membaca setiap kata yang terujar di setiap lembar surat yang kau ingin kutulis sendiri dengan jemariku.

Mungkin kau benar, membaca tulisanmu kini bak rengkuh lengan perkasamu mendekap erat hatiku. Dalam suratmu yang lalu kau tulis, bahwa tiap aksaraku laksana membawamu pergi ke masa lampau, saat kita berdua menelusuri sepanjang bahu jalan Overste Slamet Riyadi yang basah oleh rintik air hujan, kala jemariku ada di sela jemarimu...

Tahukah kau,... 

Aku menyukai setiap kali kakiku melangkah menapaki lini pedestrian kota kecilku, sambil memasukkan jemari di saku baju hangatku dan membayangkanmu berjalan di sampingku.

Aku menyukai saat duduk di bangku yang seringkali kau pilih untuk duduk kita berdua mengurai cerita di bawah rindangnya pohon akasia. 

Aku menyukai saat mataku memandang daun akasia tua yang melayang pelan lalu jatuh di atas bahu jalan. Ini indah, seindah ramuan kata yang kau olah untuk meniadakan rindu yang kusimpan di bawah bantalku.

Aku menyukai saat sel-sel otakku menandai rindumu duduk berdua dan bercerita hal-hal bodoh tak penting di antara kita berdua, lalu tertawa mengurai rimba kata. 

Aku menyukai saat aku hanya terdiam, mencoba menemukan bayanganku di dalam bola matamu.

Aku menyukai saat mengingat dedaunan akasia tua itu menimbuni kepalamu, dan kau biarkan aku memungutinya dari rambut ikalmu. Pula saat kau membiarkanku mendengar detak jantungmu, melantunkan orkestra terindah persembahan semesta raya. Peelaha kudengar bisikmu, "Burgundy, wangimu mawar Burgundy." 

My unconscious beauty, seperti itulah kau selalu mengawali suratmu yang datang membanjiri kotak surat di depan rumahku.

Kasihku, senyawa sinar yang menerangi langit malamku, tahukah kau, malam ini begitu dingin. Kabut telah turun ke lembah, menerawangi setiap kebun dan rumah.

Aku ingat musim dingin tahun lalu kau menulis di balik gambar jalanan Brussel dipenuhi salju, hasil tangkapan kameramu. "Seperti salju yang belum jenuh turun dari langit, layaknya cintamu yang tiada jenuh selalu menghangatkanku,"

Oh, kuharap kau akan menulis bilamana kau baik-baik saja. Tapi tidak. Kau bilang, kau tidak baik-baik saja. Kau sedang sakit.

Lantas penamu merangkai pesan, "Stok senyumanmu di saku baju dan celanaku hampir habis, sayang. Tunggu aku musim semi nanti. Aku pasti pulang. Kumohon, jangan biarkan bangku kita diisi orang lain, mawar Burgundy-ku."

*Solo,.....kala menunggu musim semi-ku tiba. Apakah kau baik-baik saja di sana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun