Aku menyukai saat mengingat dedaunan akasia tua itu menimbuni kepalamu, dan kau biarkan aku memungutinya dari rambut ikalmu. Pula saat kau membiarkanku mendengar detak jantungmu, melantunkan orkestra terindah persembahan semesta raya. Peelaha kudengar bisikmu, "Burgundy, wangimu mawar Burgundy."Â
My unconscious beauty, seperti itulah kau selalu mengawali suratmu yang datang membanjiri kotak surat di depan rumahku.
Kasihku, senyawa sinar yang menerangi langit malamku, tahukah kau, malam ini begitu dingin. Kabut telah turun ke lembah, menerawangi setiap kebun dan rumah.
Aku ingat musim dingin tahun lalu kau menulis di balik gambar jalanan Brussel dipenuhi salju, hasil tangkapan kameramu. "Seperti salju yang belum jenuh turun dari langit, layaknya cintamu yang tiada jenuh selalu menghangatkanku,"
Oh, kuharap kau akan menulis bilamana kau baik-baik saja. Tapi tidak. Kau bilang, kau tidak baik-baik saja. Kau sedang sakit.
Lantas penamu merangkai pesan, "Stok senyumanmu di saku baju dan celanaku hampir habis, sayang. Tunggu aku musim semi nanti. Aku pasti pulang. Kumohon, jangan biarkan bangku kita diisi orang lain, mawar Burgundy-ku."
*Solo,.....kala menunggu musim semi-ku tiba. Apakah kau baik-baik saja di sana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H