Kepada kekasih hati yang senyumnya mendiami pelupuk mata di saat sadar dan tidurku,
Menulis suratku yang ketiga ini seolah aku berbincang denganmu seraya menikmati langit biru Brussel-mu, angin meniup lembut rumput Arc du Cinquantenaire, dan mendengarmu bercerita indah tentang segala histori dan keperkasaan dinding-dinding kuno di masa lampau.
Bila saja kau tahu, aku mengagumimu ketika itu. Mengapa kau tak mengerti, bahkan dalam setiap senyum yang kau hamburkan untukku, Tuanku, aku memujamu.
Kekasih pemilik mimpi-mimpi indahku,  terimakasih telah membaca setiap kata yang terujar di setiap lembar surat yang kau ingin kutulis sendiri dengan jemariku.
Mungkin kau benar, membaca tulisanmu kini bak rengkuh lengan perkasamu mendekap erat hatiku. Dalam suratmu yang lalu kau tulis, bahwa tiap aksaraku laksana membawamu pergi ke masa lampau, saat kita berdua menelusuri sepanjang bahu jalan Overste Slamet Riyadi yang basah oleh rintik air hujan, kala jemariku ada di sela jemarimu...
Tahukah kau,...Â
Aku menyukai setiap kali kakiku melangkah menapaki lini pedestrian kota kecilku, sambil memasukkan jemari di saku baju hangatku dan membayangkanmu berjalan di sampingku.
Aku menyukai saat duduk di bangku yang seringkali kau pilih untuk duduk kita berdua mengurai cerita di bawah rindangnya pohon akasia.Â
Aku menyukai saat mataku memandang daun akasia tua yang melayang pelan lalu jatuh di atas bahu jalan. Ini indah, seindah ramuan kata yang kau olah untuk meniadakan rindu yang kusimpan di bawah bantalku.
Aku menyukai saat sel-sel otakku menandai rindumu duduk berdua dan bercerita hal-hal bodoh tak penting di antara kita berdua, lalu tertawa mengurai rimba kata.Â
Aku menyukai saat aku hanya terdiam, mencoba menemukan bayanganku di dalam bola matamu.