Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Belajar Filosofi Matematika Bersama Anak-anak

30 Mei 2020   07:07 Diperbarui: 30 Mei 2020   07:43 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Instagram.com|@cantik24.7

Salam,

Gimana Ayah, Bunda...sudah siapkah bila Ananda kembali menikmati KBM bersama teman dan guru di sekolah? Atau masih pengen pakai sistem daring ?

Kay... belajar dengan sistem apa pun akan menyenangkan bila anak menyukai pelajaran tersebut. Bagaimana kabarnya dengan pelajaran matematika Ananda ? Hari ini kita akan belajar berdamai dengan matematika, yha...

Bagaimana bila saya sodorkan sebuah rumus :

Matematika = Bahasa

Anda boleh mengernyitkan dahi tatkala membaca rumusan itu. Lalu akan bertanya, "oh, ya?" atau "masak?"

Apa iya Calculus Diferensial adalah sebuah bahasa? Matriks? Trigonometri? Atau Aljabar? Logaritma? Probabilitas? Perkalian? Penjumlahan?

"Eeeghhh...apaan itu, Miss?" dengan alis yang hampir menyatu salah seorang siswa saya segera menyanggah pernyataan saya tersebut.

Pada dasarnya, manusia sangat menyukai kepastian. Manusia cenderung membuat suatu pola dari beberapa peristiwa yang terjadi dalam satu periode. Kemudian membuat beribu-ribu prediksi atas segala kemungkinan dalam pemikirannya. 

Beberapa trik ini mungkin dapat dipraktekkan dalam belajar matematika. So, here we go...

1. Biarkan siswa membuat kesalahan dalam memahami masalah.

Semenjak kecil kita selalu diperkenalkan kepada hal yang benar, jauhi yang salah. Kalau perlu tolak keberadaan kesalahan. Menyadari bahwa kita adalah manusia biasa, maka melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. 

Dalam proses belajar seorang anak, sangat diperlukan resiliensi. Resiliensi inilah yang akan membuat seseorang mampu kembali bangkit setelah jatuh dalam kegagalan. 

Maka dari itu adalah hal yang cukup bijak jika kita membiarkan anak-anak tumbuh sebagai manusia dengan resilien besar. 

Kebiasaan yang perlu kita ubah adalah sikap  kita sebagai orang dewasa yang seringkali melakukan judging pada saat siswa berproses. 

Sebagai contoh, seorang anak berhasil mengerjakan 3+5=9, sementara masih ada 9 soal lagi yang harus ia jawab. Pada saat kita melihat anak menjawab soal dengan jawabannya yang salah, apa reaksi kita? Buru-buru menegur si anak untuk membetulkan jawaban yang salah, bukan? 

Sepertinya itu adalah hal yang benar. Namun bila terus menerus kita lakukan, maka akan menumbuhkan rasa ketergantungan, sehingga memicu rasa tidak percaya diri anak untuk mencoba hal- hal baru. 

Alangkah baiknya bila kita memberi waktu bagi anak untuk menyelesaikan terlebih dahulu 10 soal di hadapannya, setelah itu kita memeriksa untuk menentukan apakah jawaban tersebut benar atau salah. 

Bila ada jawaban yang salah, mintalah anak untuk mencari sendiri pada tahap mana ia melakukan kesalahan. Dalam upaya pembetulan jawaban tersebut, biarkan ia membetulkan sendiri, hingga ia benar-benar tak mampu menyelesaikannya sendiri.

Pun sebaiknya tugas kita hanya mengarahkan anak untuk menemukan jawaban, bukan memberikan jawaban.

2. Biarkan anak menemukan konsepnya sendiri

Seperti telah saya sebutkan di atas. Manusia suka sekali membentuk pola. Dengan dasar inilah maka salah satu kunci dari keindahan belajar matematika adalah kemampuan untuk membuat konsep.

Layaknya memahami sebuah bacaan, kita harus mampu menemukan pokok gagasan dalam sebuah paragraf, maka seseorang harus berlatih untuk mampu menemukan konsep dalam matematika. 

Proses pembelajaran ini mulai saya terapkan pada anak-anak yang telah mempunyai karakter self correction (begitulah saya menyebutnya), di mana seorang anak mampu melakukan pembetulan pada jawaban awal yang salah. Try this one...

3x + 9 = 24. Tentukan x ! Ada kemungkinan anak akan menjawab :

3x = 24-9

3x = 16

  x = 16/3 (wrong answer)

Kita tahu dari soal di atas sebenarnya kesalahan terletak pada langkah ke-2. Tapi mari biarkan anak menemukan letak salah mereka, dengan demikian mereka belajar menemukan jawaban yang benar. 

Mengapa metode ini sama pentingnya dengan "pembiaran" pada tips sebelumnya? Karena dalam metode ini selain belajar untuk memaksimalkan potensinya, anak-anak pun dimampukan untuk mempunyai "self learning" untuk melatih mereka mendefinisikan sebuah permasalahan. 

Ups, jangan lupa untuk memberikan pujian pada anak beserta dengan alasannya, jika seorang anak mampu menemukan konsep bagi sebuah soal. Bukankah ia sudah menjadi inventor?

Pada akhirnya, segalanya akan berakhir dengan ketekunan. Seperti ketika seorang teman melontarkan idenya, dalam sebuah chatroom, bahwa dalam segala hal dibutuhkan sikap tekun

sumber: instagram.com| @cantik24.7
sumber: instagram.com| @cantik24.7
Seperti halnya membiasakan adanya conversation dalam keseharian anak-anak  untuk melatih vocabulary, kita pun dapat melatih anak menggunakan 1 rumus Identitas Trigonometri untuk menyelesaikan satu soal saja dalam satu hari. 

Apakah berlebihan untuk berdamai dengan matematika? Well, ...coba saja. 

Salam,

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun