Sudut taman akhirnya dipilih Ryu duduk berkerudung jumper di bawah rintik hujan. Ia menantikan tamu siang harinya. Tamu yang selama ini hanya menghuni ruang mayanya.Â
Sementara ia sibuk dengan buku Laut Bercerita -nya Leila Chudori, ada sepasang mata memindainya beberapa waktu yang lalu.
Lima belas menit Ryu menunggu orang lamanya. Seseorang yang pernah mengisi kehidupannya dengan ide-ide Tan Malaka tentang sekolah berbasis karakter dan keharmonisan hidup dengan alam. Seseorang yang pernah meringkuk di selokan, berlindung dari kejamnya sepatu-sepatu lars aparat tahun 1998.
"Hai murid Shantiniketan. Sendirian ya? Bagaimana kabar Guru Dev?" suara berat seorang pria bertopi hitam Nike tetiba membunuh sejuta sepi dan dingin yang mengerat tulang Ryu.
Dengan senyum simpul tanpa memandang pria yang kini duduk di sampingnya, Ryu membalasnya singkat, "Tagore saja cukup, Engku. Aku rindu Kayutanam-mu. Bagaimana kabar siswamu Tan Malaka?"
"Kau masih seperti dulu. Apa yang kau bawa untukku, Ryu?"
"Pizza," jawab Ryu pendek.
Senyum minimalis lahir dari bibir pria berjenggot tipis, berkulit sawo matang. "Kau tidak. Kau masih lihai seperti dulu. Bagaimana kau mengenaliku?"
"Kau yang memberitahuku, penyair Cicero," Ryu meneguk minuman isotonik yang mulai mengisi kerongkongannya. "Artikel-artikel lawas Mei 1998 tak sengaja kutemukan di tempat sampahmu," lanjutnya.
"Cuma itukah, Hercules Poirot ?"
"Katakan padaku, Rio. Untuk apa kau lakukan semuanya? Kau menyusahkanku saja. Dasar gila, kau Rio," ujar Ryu mengalihkan pembicaraan.
"Lorem Ipsum, Ryu,"
"Untuk apa kau pilih penderitaan?"
"Tama. Kau tahu? Tentu saja," ujar Rio sesaat matanya memandang rusa yang dibiarkan liar di taman. Beberapa orang memberi makan rusa-rusa kurus dengan makanan ala kadarnya. "Tama, tunangan yang mengkhianati mimpimu. Ia pergi. Menjauhi perempuan yang ia hamili," pandangan Rio kini beralih lurus ke arah kolam taman di depan bangku duduk mereka sembari sesekali membenarkan letak kacamatanya.
"He's just a piece of shit, Rio. Pratama Adiwijaya. Seorang kakak tiri yang hanya berani bersembunyi di bawah ketiak adiknya. Ia yang menghamili Via, lalu  lari. Lalu apa hubungannya denganmu?"
"Anak dalam kandungan Via adalah anak Tama. Bagaimana mungkin aku meninggalkan anak itu begitu saja?"
"Kecuali, ....bila itu anak kandungmu sendiri, Â dan bukan anak Tama," kata Ryu.
"Kau pikir begitu? Ok, kita lakukan tes DNA, Ryu," tantang Rio penuh kekesalan. Ryu hanya tersenyum T-Rex.
"Lalu buat apa kau susah payah untuk anak yang bukan anakmu sendiri. Ayahnya saja lari," sahut Ryu kesal. "Carpe diem quam minimum credula postero, Rio. Cobalah menikmati hari ini."
"Aku paham. Tapi, logika tanpa logistik itu mati, Ryu. Kau tahu pasti itu. Yang kutahu anak itu butuh makan, butuh sekolah suatu saat nanti. Aku sisipkan tabungan dan deposito atas nama Via."
"Kau gila, Rio,"
"Tidak segila kau yang selalu menghantui hidupku, Ryu." sejenak Ryu terhentak dengan ucapan Rio.
Kali ini Rio sangat serius dengan ucapannya. Ryu melirik wajah kawan residivisnya saat penggulingan rezim penguasa 32 tahun dulu berlangsung. Dilihatnya tajam hingga kedalaman mata Rio, tanpa sepatah kata pun.
"Kau gila, Rio," desah Ryu. "Kau sungguh gila." Ryu segera beranjak dari bangku taman.
"Tunggu, Ryu. Aku serius. Bahkan aku serius tahu kalau hari ini kawanmu si reserse itu sudah siap menyerah kalah dengan investigasimu, jurnalis. Ia sudah menangkap Tama tadi pagi," kata Rio.
"Dan kali ini giliranmu, Cicero. Menyerahlah. Kau sudah kami kepung," sahut Devara yang tiba-tiba datang entah dari arah mana beserta beberapa orang aparat berotot padat mengelilingi Rio.
"Guru Dev, lihat saja, kau tak akan lama menahanku," kata Rio dengan dua jempol tangan terborgol, berlalu bersama mobil polisi yang membawanya pergi. Sedang Devara masih duduk bersama Ryu di tepian kolam taman.
"Terimakasih telah menelfonku, Ryu. Kupikir kau akan memberiku sesuatu," sahut Devara. "Sekali lagi aku berhutang satu kasus padamu."
"Aku hanya melihat apa yang tidak kalian perhatikan. Itu saja, Dev. Setelah pulang dari Sadari, aku melihat beberapa artikel Mei '98 dibuang di depan rumah sewaan. Lalu aku putuskan untuk menyelidikinya. Kebetulan ada pengantar pizza. Kupinjam topi dan seragamnya. Dan ternyata, dugaanku tak meleset. Hanya tipis. Aku tak tahu juga bahwa Tama si brengsek itu bersembunyi dibalik perlindungan adiknya. Ayolah, mana mungkin seseorang dengan baju dan perlengkapan bermerk, mau hidup di rumah kontrakan lusuh seperti itu. Dan cedar wood itu.... Sebetulnya aku ingin masuk rumah sewaan mereka. Tapi Rio mencegahku.
"Aku mulai curiga ketika sebuah akun medsos bernama Lorem Ipsum muncul jadi followerku. Semula ku anggap biasa saja, Dev. Memang aku teringat Rio, tapi aku tak berpikir dialah sang pemilik akun. Satu dua kali chatting semakin aku tahu, logat kental Jogjanya dan semua hal yang ia bentangkan selalu mengingatkanku pada satu sosok masa lalu yang sempat menghilang.
"Kami pernah mengalami banyak hal bersama, Dev. Tapi satu yang kuingat pasti, ketika Rio mau pasang badan saat sepatu-sepatu lars aparat mencoba untuk menggilas badan dan kepalaku. Aku di selokan itu bersamanya," helaan naoas panjang menghiasi dialog senja mereka berdua. "Ia selalu melakukan hal yang sama. Ia yang berada di belakangku, membelaku saat semua orang tak berada di pihakku. Dialah yang ada di belakangku, berjuang bersamaku," lanjut Ryu. Air mata perempuan sederhana berpoles sedikit bedak dan seulas gincu warna nude di samping Devara akhirnya terurai.
Ingin hati Devara merengkuh tubuh mungil perempuan rapuh yang kini menangis sendu, namun ia tahu perempuan itu tak pernah menginginkan pelukan. "Aku tak butuh pelukan Dev. Jangan coba berikan itu untukku," katanya di suatu hari yang lalu. Devara tahu benar tabiat unik kawannya. Belum pernah ia melihat Ryu terlalu lama bersedih. Durasi menangisnya bisa dihitung dengan jari.
"Kasus ini selesai, Dev. Katakan padaku, kasus apa lagi selanjutnya," tanya Ryu usai mengusap tangisnya. Seolah tak pernah terjadi apa pun padanya.
Devara tersenyum, paling tidak ia benar dalam hal ini. Sekaligus ia harus mengakui sebagai seorang reserse yang menyerah kalah lagi pada ksatria penyandang pena dan tinta.
[*Solo,.....saat harus belajar melihat segala sesuatu yang dianggap biasa agar tetap menjadi luar biasa.]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H