Kali ini Rio sangat serius dengan ucapannya. Ryu melirik wajah kawan residivisnya saat penggulingan rezim penguasa 32 tahun dulu berlangsung. Dilihatnya tajam hingga kedalaman mata Rio, tanpa sepatah kata pun.
"Kau gila, Rio," desah Ryu. "Kau sungguh gila." Ryu segera beranjak dari bangku taman.
"Tunggu, Ryu. Aku serius. Bahkan aku serius tahu kalau hari ini kawanmu si reserse itu sudah siap menyerah kalah dengan investigasimu, jurnalis. Ia sudah menangkap Tama tadi pagi," kata Rio.
"Dan kali ini giliranmu, Cicero. Menyerahlah. Kau sudah kami kepung," sahut Devara yang tiba-tiba datang entah dari arah mana beserta beberapa orang aparat berotot padat mengelilingi Rio.
"Guru Dev, lihat saja, kau tak akan lama menahanku," kata Rio dengan dua jempol tangan terborgol, berlalu bersama mobil polisi yang membawanya pergi. Sedang Devara masih duduk bersama Ryu di tepian kolam taman.
"Terimakasih telah menelfonku, Ryu. Kupikir kau akan memberiku sesuatu," sahut Devara. "Sekali lagi aku berhutang satu kasus padamu."
"Aku hanya melihat apa yang tidak kalian perhatikan. Itu saja, Dev. Setelah pulang dari Sadari, aku melihat beberapa artikel Mei '98 dibuang di depan rumah sewaan. Lalu aku putuskan untuk menyelidikinya. Kebetulan ada pengantar pizza. Kupinjam topi dan seragamnya. Dan ternyata, dugaanku tak meleset. Hanya tipis. Aku tak tahu juga bahwa Tama si brengsek itu bersembunyi dibalik perlindungan adiknya. Ayolah, mana mungkin seseorang dengan baju dan perlengkapan bermerk, mau hidup di rumah kontrakan lusuh seperti itu. Dan cedar wood itu.... Sebetulnya aku ingin masuk rumah sewaan mereka. Tapi Rio mencegahku.
"Aku mulai curiga ketika sebuah akun medsos bernama Lorem Ipsum muncul jadi followerku. Semula ku anggap biasa saja, Dev. Memang aku teringat Rio, tapi aku tak berpikir dialah sang pemilik akun. Satu dua kali chatting semakin aku tahu, logat kental Jogjanya dan semua hal yang ia bentangkan selalu mengingatkanku pada satu sosok masa lalu yang sempat menghilang.
"Kami pernah mengalami banyak hal bersama, Dev. Tapi satu yang kuingat pasti, ketika Rio mau pasang badan saat sepatu-sepatu lars aparat mencoba untuk menggilas badan dan kepalaku. Aku di selokan itu bersamanya," helaan naoas panjang menghiasi dialog senja mereka berdua. "Ia selalu melakukan hal yang sama. Ia yang berada di belakangku, membelaku saat semua orang tak berada di pihakku. Dialah yang ada di belakangku, berjuang bersamaku," lanjut Ryu. Air mata perempuan sederhana berpoles sedikit bedak dan seulas gincu warna nude di samping Devara akhirnya terurai.
Ingin hati Devara merengkuh tubuh mungil perempuan rapuh yang kini menangis sendu, namun ia tahu perempuan itu tak pernah menginginkan pelukan. "Aku tak butuh pelukan Dev. Jangan coba berikan itu untukku," katanya di suatu hari yang lalu. Devara tahu benar tabiat unik kawannya. Belum pernah ia melihat Ryu terlalu lama bersedih. Durasi menangisnya bisa dihitung dengan jari.
"Kasus ini selesai, Dev. Katakan padaku, kasus apa lagi selanjutnya," tanya Ryu usai mengusap tangisnya. Seolah tak pernah terjadi apa pun padanya.