"Tere, tunggu!" sergah lelaki berkulit coklat dan berpenampilan layaknya seorang seniman itu.
"Apa lagi, mas? Apa yang harus aku tunggu?"
"Aku harus pergi,Re,"
"Ya. Meninggalkan aku, meninggalkan semua cerita dan mimpi yang telah kau berikan padaku, mas? Mas, tiba-tiba kau pergi begitu saja!!" teriak Tere. "Dan bodohnya aku, aku selalu menunggumu menelfonku, dan menunggu notif darimu setiap hari. Setiap hari. Setiap hari !!!"
"Tere, aku bukannya ga mau. Aku...kau tahu aku bukan orang yang tak bisa memenuhi mimpimu. Aku...,"
"Sudahlah. Aku tahu kau harus memilih. Dan aku bukan lagi wanita cantik dan cerdas seperti yang kau mau, bukan? Aku hanya wanita sok tahu, sok pintar. Karna kau sudah menemukan pembandingku.,"
"Kau selalu berpikir seperti itu, "
"Ya. Sudahlah...aku pun harus memilih."
"Itulah kau, Tere. Itulah kau yang selalu menilai segalanya menjadi penting bagi dirimu sendiri," Tere hanya mengangguk pelan. Menangis.Â
Kudekati lelaki itu. Kegeramanku makin meningkat. "Hei, Bung. Kau sapioseksual? Sapio, sapio pala loe somplak!" satu pukulan akhirnya kuhadiahkan pada lelaki hantu itu.Â
Tubuhnya sempoyongan. "Jangan pernah sekali pun kau dekati Tere lagi. Atau kita pasti berurusan lagi. Kau tahu?" kupeluk tubuh Tere.Â