Tapi tidak. Aku memilih menarik napasku. Dan mencoba menggulung sebuah rasa sesak ini dalam lipatan senyuman. Aku cemburu? Ya. Aku marah? Ya. Ingin rasanya kuremukkan wajah lelaki tak berperasaan itu.
"Re...tiap kali liat foto ini kau menangis. Maukah kau tak lagi menangis? Ia sudah pergi. Kau masih di sini,"
"Tapi, Han, dia..."
"Bergeraklah, Re. Berdamailah dengan dirimu. Berdamailah dengan masa lalumu, dan longgarkan. Kau ada di sini sekarang. Dia..."
"Dia janji akan datang lagi, Han," isaknya mulai mengguncang jiwa yang rapuh.
"Kapan, Re?" Tere hanya diam dalam tangisnya. "Ia sudah pergi," kusibak beberapa helai rambut yang dibiarkannya terurai.
"Nomornya masih aktif, Han,"
"Ok. Hubungi dia sekarang," pintaku pelan. Kuraih gawai hitam di meja, kusentuh nama lelaki laknat yang telah membiarkan wanitaku ini hancur.
Lama terdengar nada tunggu. Aku pun berharap cemas. Jika saja bisa terhubung dan Tere jatuh lagi dalam pelukan lelaki itu. Ah, biar saja.Â
Tapi beruntungnya aku. Ponsel itu tak diangkat. Beruntung? Apakah aku terlalu egois? Apakah perasaan ini benar, aku bersuka di atas luka Tere. Namun aku hanya terdiam.
Jika saja kau mampu melihat aku, Tere. Lihat. Aku di sini. Bersamamu. Bukan hantu itu, Tere.Â