Yang parah, kondisi tersebut ia perlakukan bila ia dan suaminya sedang mempunyai masalah. Semua permasalahan rumah tangga mereka.
"Ya, kalo bisa diselesaikan sendiri, to, miss," ujarnya di satu kesempatan.
"Kalau ada yang ga mampu kita lakukan sendiri?" tanya saya.
"Ya, sudah nrimo saja,"ungkapnya.
Begitulah, bahkan dalam kehidupan rumah tangganya juga seperti demikian. Tanpa nafkah jasmani dari suami pun dia masih tak mau menuntut apa pun. Dia seakan menerima begitu saja apapun perlakuan suaminya yang pengangguran.
Yang mengejutkan, suatu saat teman saya tersebut tiba-tiba memutuskan untuk bercerai dengan alasan telah terjadi KDRT dan hadirnya pihak ketiga.
Berulang kali teman-teman kantor sudah memberikan masukan supaya ada komunikasi antara dia dengan suaminya. Namun ia lebih memilih untuk menumpahkan kepahitan hidupnya dengan bermedsos ria.
Kita salahkan dia? Mungkin secara normatif ya, bisa saja. Akan tetapi, bukankah setiap orang berhak untuk bahagia? Bukankah setiap orang punya standar kebahagiaan yang berbeda-beda? Dan apakah lantas kita dapat memaksakan standar kebahagiaan kita pada mereka yang berbeda dengan kita.
Next....dengan demikian, terbuktikah memilih pasangan berbeda karakter akan lebih menjamin kelanggengan rumah tangga?
Pada pasangan yang berbeda karakter akan lebih banyak menjumpai keunikan cerita tersendiri. Saling membangun adalah hal yang sangat diperlukan.
Mereka akan mencoba saling menemukan apa yang berbeda dari dirinya. Saling berbeda pendapat bukan berarti hancurnya sebuah komunikasi.