Dari data tersebut, tak ditemukan satu hal pun yang berkaitan dengan gender. Berapa persen pengendara pria atau wanita yang lebih banyak menjadi penentu suksesi kenaikan angka laka lantas tersebut.
Akan tetapi pertanyaan saya, mengapa lantas kemampuan para srikandi pembelah jalanan ini masih saja dipandang sebelah mata oleh konsumen yang berbeda gender?
Menjadi raja yang bijaksana
Terkait dengan karakter dan kemampuan mereka di jalanan, saya sebagai pengguna ojol dalam setiap rutinitas sehari-hari, memang tak pernah memilih antara driver pria atau wanita. Tapi okey lah bila hanya sampai pada titik ketidaknyamanan.
Yang jelas saya pun dari sisi konsumen merasa ada kenyamanan tersendiri jika mendapat layanan dari driver wanita. Itu jika dilihat dari sisi kenyamanan kita masing-masing.
Jika memang rasa tidak nyaman tersebut dilatarbelakangi keyakinan tertentu maka bukan sebuah permasalahan jika harus membatalkan sebuah transaksi order ojol.Â
Namun jika tidak biasa mendapat pelayanan driver wanita, mengapa harus membatalkan order? Cobalah aksi konsumen Mbak Gita di atas (kecuali jika Anda memang tidak mampu berkendara).Â
Tak pahamkah kita, bahwa mereka pun punya keinginan untuk sedikit saja mengais poin demi membantu perekonomian keluarga?
Betapa menyedihkan bila hanya demi sebuah stigma yang belum tentu terbukti akurat kebenarannya, lantas begitu saja kita menghabisi kesempatan bagi para srikandi jalanan ini untuk menjalankan tugasnya sebagai penolong dalam keluarganya?Â
Dan betapa hebatnya kita dengan begitu saja memberi label "tidak mampu" melakukan apa yang para pria lakukan demi menafkahi keluarganya?
Atau tak tahukah kita, hanya demi beberapa poin yang harus mereka penuhi sesuai target satu hari, ada beberapa dari mereka yang pernah mendapat perlakuan "nakal" dari konsumen lawan jenis. Tak usahlah saya menjelaskan secara detil semua perlakuan itu.
Lihatlah juga beberapa penayangan di media massa, yang menyenggol masalah driver wanita. Jika ada driver wanita cantik, maka langsung saja menjadi viral.