Dimas tetap diam. Diambilnya nafas dalam-dalam. Diusapkannya telapak tangan ke wajahnya. Pandangannya segera beralih, menyapu seluruh ruang kerjanya.Â
"Lalu kau akan pergi lagi?"
"Tolong, Dim, ini pilihanku. Aku minta padamu, jaga Reni. Aku bodoh tak menghargainya. Tapi aku tahu, aku yakin kau adalah satu-satunya orang yang mampu melakukannya.,"betapa berat aku mengatakannya. Seperti aku mengaku kalah dengan semua kenyataan ini.Â
"Dim, aku akan kembali lagi, membawa cintaku, di luar sana ada sebuah hati yang menungguku. Meski aku tak tahu yang mana. Itu janjiku padamu, Dim. Pegang itu baik-baik."
Dimas tersenyum dan berkata,"Aku menunggumu, Lex. Aku dan Reni menunggumu,"ditepuknya pundakku dan dirangkulnya tubuhku, layaknya ia adalah saudaraku, kakak yang selalu membelaku.
"Dengar, Dim. Aku meninggalkan Reni sendiri. Kupikir, kau harus menemuinya sekarang," Dimas tersenyum lalu segera berlalu meninggalkanku sendiri di ruang itu.Â
Ya, Dim...kejarlah mimpimu, kau berhak mendapatkannya. Kau yang berhak. Aku akan memastikannya.
EPILOG
RENI
Pagi ini tak seperti pagi yang lalu. Aku menyukainya. Sangat. Aku siap dengan segala hal. Di depan cermin aku melihat bayanganku. Setengah rapi. Setengah? Ya. Aku masih harus bersiap. Kebaya warna kuning gading masih menggantung di lemari kayu.Â
Kubuka gorden jendela kamar, agar sinar matahari memasuki ruangan. Dan ternyata silaunya membangunkan tubuh lelaki Dimas yang masih menutup matanya rapat-rapat.