Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 6: Aubrey, The Mystery]

16 Oktober 2019   08:08 Diperbarui: 16 Oktober 2019   08:14 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benteng Carlyle berdiri megah membatasi kerajaan Saverian yang malam itu terbalut kabut pekat. Dingin angin dari samudera menerpa pantai, menawarkan sejuta mimpi yang terbelenggu sempurna dalam bentangan semesta.

Hasutan ombak mulai terpecah menghantam dinding karang dan hanyut luruh kembali ke laut lepas. Bau peradaban anak manusia menjangkiti penduduk Saverian yang lebih memilih untuk menikmati malam di bawah naungan dinding-dinding rumah yang hangat.

Lain dengan Arye. Ia masih mengamati samudera dengan penuh ketakjuban. Pandangannya tak berpindah dari laut lepas itu.

"Lautan dan pegunungan akan menyatu membentuk kehidupan, Pangeran,"suara berat dan tegas mengejutkan Arye.

Di samping kirinya kini berdiri seorang lelaki tua, berjubah putih. Perawakannya tegap, meski terlihat banyak keriput menghiasi kulitnya. Dagunya yang lancip tertutup janggut abu-abu sepanjang dada. Di kepalanya ada semacam mahkota perak, berukir daun berulir. Warna perak senada  dengan tongkat dan jubahnya. 

Di tangannya ada tongkat sebagai alat untuk memudahkan jalannya. Orang tua ini berdiri tanpa ragu, seakan semua diam dan tak menahu keberadaannya bersama Arye.

Para prajurit yang berjajar menjaga benteng pun diam membisu bak patung yang membeku.

"Apa yang kau kuatirkan, Pangeran? Sudah saatnya laut dan pedalaman menyatu. Barangsiapa merasa menang, maka ia adalah pecundang, tetapi siapa yang merendah, ialah sang pemenang,"

"Siapa Anda, Tuan?"tanya Arye

"Aku bukan siapa-siapa, Pangeran. Bukan siapa-siapa. Yang pasti, Andalah yang terpilih. Carilah yang tersembunyi. Bila engkau mendapatkannya, simpanlah ia di dekat hatimu, Pangeran. 

"Gantungkanlah ia di lehermu, agar engkau tahu, carilah Aubrey. Gugusan bintang di angkasa yang akan memandu mu. Lihat yang paling terang, Pangeran, agar tak tersesat langkahmu."

dokpri
dokpri

"Aubrey?" tanya Arye. "Apa maksud Anda, Tuan?"

Orang tua itu tak nampak lagi di hadapannya. Di tangan Arye kini menggenggam sebuah tulisan dengan satu nama dalam ingatannya, "Aubrey". Mungkinkah itu seorang yang penting? Atau senjata? Atau nama daerah yang harus ia taklukan? Atau nama seekor ikan di laut yang begitu penting. Mengapa orang tua itu mendatanginya? 

Pertanyaan demi pertanyaan itu disimpannya. Dalam pikirannya hanya terlintas percakapannya dengan Boone. 

"Bodoh sekali Boone menolak keinginanku untuk menolongnya. Kita lihat nanti, Boone, kita lihat nanti," kata Pangeran dalam hati.

Mentari pagi kembali mengunjungi Saverian. Langkah kaki Arye membawanya ke kapal Boone.

"Boone!!! Dimana kau, kapten?" seru Arye bergelantungan di antara tali layar kapal.

Boone terdiam saja. Ia berada di atas kapal menikmati hidangan paginya dengan segelas teh hangat buatan sang koki kapal.

"Boone, kau tahu? Kemarin aku memikirkan sesuatu. Kau harus menolongku,"ucap Arye. "Aku harus pergi ke suatu tempat. Dan hanya kau yang bisa menolongku," Boone hanya terdiam, menatap sahabatnya tajam, dan meneruskan sarapan paginya.

"Pertolongan?"

"Ya. Kita akan berlayar, Boone,"

"Ke mana?"

"Ke suatu tempat. Ke dimensi lain,"

"Tidaaaak, Pangeran," ucap Boone sambil membanting pisau makannya.

"Boone, ini bukan tentangmu. Ini tentang seorang lelaki tua yang telah berulang kali datang kepadaku, dan memintaku mencari "Aubrey". Dan semalam ia memberiku gambar ini," simbol huruf A itu ditunjukkannya pada Boone.

"Apa yang istimewa?Itu hanya huruf," sergah Boone

"Ini adalah inisial nama. Aubrey. Orang tua itu berulang kali menyebut nama Aubrey. Dan aku ingin tahu siapa dia. Bagaimana, kapten? Berdua. Hanya kau dan aku,"

Boone meneruskan sarapannya. Sebentar kemudian ia meminum teh hangat. Pandangannya terlempar ke laut, mencoba untuk menjaring sekumpulan jawaban atas kegundahan perasaannya selama ini.

"Boone. Ayo. Cepat putuskan. Jangan berputar-putar. Waktu kita tak banyak. Sebulan lagi kau akan berlayar. Dan entah kapan lagi kita dapat bertualang," rayu Arye yang mulai tahu jawaban di balik sinar mata sahabatnya.

"Jika bukan karena kau, aku tak akan berangkat,"jawab Boone sambil menghela nafas panjang. 

Senyum kemenangan kini terurai di bibir sang Pangeran Arye. Satu kemenangan yang tak berarti bagi Arye, namun sangat berarti bagi seorang gadis di atas ketinggian bukit. Aku, Puteri Sherin.

Mempelajari karya sastra dan berbagai macam adat istiadat serta peraturan kerajaan Fillya membuat nafasku hampir putus. Begitu banyak gulungan perkamen dan buku tebal berdebu yang menumpuk di mejaku. 

Ooooohh, rasanya seperti lautan kata yang berterbangan di udara dan harus segera kupilah dan aku kumpulkan, agar aku cepat menyelesaikan semua pelajaran Tuan Dunberg.

"Tuan Puteri," Thea tiba-tiba muncul dan mengejutkanku. 

"Thea !!!" teriakku kegirangan. Ah, paling tidak dia mengalihkan penatku sejenak.

"Sasst...jangan keras-keras. Aku akan membawamu kembali ke dunia materi,"

"Hah, dunia materi? Untuk apa?"

"Raja Redrix memerintahkan aku untuk mengambil satu liontin penting. Satu simbol yang harus ia berikan kepadamu. Dan itu barang yang penting, Tuanku."

"Kenapa kita tidak minta ijin Tuan Dunberg?"

"Kau tak tahu siapa dia. Ia pasti tak akan mengijinkanmu pergi barang sejenak saja. Aku pernah menjadi muridnya. Semua mengenalnya. Dasar Dunberg tua,"

"Theaaa,"

"Kau harus ikut. Kata Raja, hanya kau yang tahu dimana liontin itu berada,"

"Tentu saja. Tapi berjanjilah, kau akan mengembalikanku lagi ke sini. Aku takut Tuan Dunberg akan marah padaku, Thea,"

"Aku tahu. Kau memang gadis manis yang penurut,"

"Thea...." sapa Tuan Dunberg yang muncul tiba-tiba.

"Uuugh. Lihat kau akan lihat Tuan Dunberg yang sesungguhnya," bisik Thea padaku. "Tuan Dunberg," sapa Thea begitu manis dengan senyum basa-basinya.

"Tuan Puteri, nampaknya ada sesuatu yang penting? Atau kalian ingin pergi mencari sesuatu?"

"Emh..tidak, Tuan Dunberg,tapi sepertinya Tuan Puteri membutuhkan waktu untuk sedikit beristirahat, ya, istirahat," jawab Thea bersandiwara.

"Banyak hal yang harus Anda pelajari, Tuan Puteri. Ingat....waktu kita tak banyak. Penobatan segera akan dilaksanakan. Bukan begitu, Tuanku?"

"Aku hanya mengajaknya berkeliling ... sebentar...Bukan begitu, Tuan Puteri?" kakiku diinjaknya sedikit.

"Auuw, Theaaa, aduh...sakit,"keluhku pelan.

"Katakan sesuatu, Tuanku,"bisik Thea padaku.

"Ehem, Tuan Dunberg, ada perintah dari Ayah, agar aku dan Thea segera menemui seseorang. Ini penting. Perintah Tuanku Raja. Apakah kau akan melawannya?" kataku singkat.

Tuan Dunberg terlihat bingung menjawab pertanyaanku. "Baik, Tuanku. Tapi....,"

"Percayalah, aku segera kembali, Tuan," jawabku sambil menunduk memberi hormat. Namun tangan Thea menarikku untuk berlari.

Dan sesaat kemudian kami berada di rumahku. Ya, rumah yang kutinggalkan. Rumah ini terlihat berantakan dan berdebu. 

"Ayo Tuanku. Kita harus mencari liontin itu, " Thea segera menaiki tangga menuju kamar Ayah. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Ditariknya tanganku, lalu kami bersembunyi di bilik kecil di bawah tangga.

Telunjuk Thea dilekatkan pada bibir tipisnya, tanda kami harus diam. Kudengar ada dua suara lelaki yang berbicara.

"Boone, kau menemukan sesuatu?"

"Ya, Arye. Paling tidak ada satu buku catatan miliknya. Mungkin aku menemukan sesuatu di dalamnya,"

"Aku telah menemukan yang kucari, Boone. Tapi untuk apa liontin ini? Huruf A itu sama persis dengan tulisan dalam kertas itu, Boone,"

Thea segera mengajakku keluar, setelah memastikan kedua lelaki itu pergi.

"Puteri untuk apa dua lelaki itu mengambil barang yang kita cari? Bukankah jika ingin mencuri, maka mereka bisa mendapatkan perhiasan atau uang atau barang yang lain. Mengapa mereka mengincar liontin itu?"

Aku tak mendengarkan Thea. Entah apa yang diucapkannya. Aku termangu saat kudengar suara lelaki yang disebut sebagai Boone. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Begitu mengenalnya. Bahkan aku sangat mencintainya. Sangat.

Aku yakin itu adalah dia. Aku yakin ia adalah kekasihku yang pergi. Aku melihatnya di balik bilik kecil itu. Aku sangat mengenalnya meski hanya sekilas. Ya, itu adalah Ipung. Aku tak mungkin salah. 

Mungkinkah ia mencariku? Untuk apa? Bukankah ia telah pergi? Aku memang mencintainya. Tapi ia sudah pergi. Tak terasa setetes air mata mengalir di pipiku. Dan kubiarkan saja. Aku rindu, cintaku. Aku rindu.

*Solo, -carpe diem, quam minimum credula postero- (Odes)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun