"Tolong berhenti memanggilku Tuan Putri dan coba jelaskan siapa aku."
"Kumohon, dengarkan dulu aku, Tuan Putri Sherin. Waktu kita tak banyak. Cincin yang kau kenakan itu adalah cincin meterai. Dunia ini sedang berada dalam keadaan yang sangat gawat. Dua batu api besar telah dikirim dari dimensi lain untuk menghancurkan bumi.Â
"Kami datang sebagai bagian dari bumi ini. Kau pun demikian. Jadi kumohon tetaplah bersamaku. Aku adalah abdimu. Dari beribu-ribu ksatria Fillya, akulah yang telah terpilih untuk mengawal, Tuanku. Seperti telah tertulis dalam buku Zenith, buku tentang riwayat kerajaan Fillya, yang diwariskan oleh nenek moyang kami.
"Sudahlah. Yang pasti, jangan pernah kau lepaskan cincin itu, Tuanku. Itu meterai untukmu, dan bagi masa depan kerajaan Fillya."
"Lalu...apa yang terjadi di luar sana, Thea?"
"Penghancuran. Dengar. Tidurlah. Itu akan kau butuhkan, Tuanku. Jangan cemas. Raja Redrix telah memberikan perlindungan penuh di sekeliling rumah ini. Untuk sementara kita aman. Besok, kita akan melakukan perjalanan panjang kita. Sangat panjang."
"Thea, maukah kau melakukan sesuatu untukku?"
"Apa itu? Membacakan dongengmu lagi?"
"Bukan. Dongeng itu siap kujalani. Tolong, jangan panggil aku, Tuan Putri. Sebut saja namaku. Aku suka nama baruku. Sherin....," mataku terpejam.Â
Tak ada kata- kata apa pun. Semua hening. Tak kudengar suara-suara mengerikan di luar sana. Besok adalah petualanganku. Besok, ceritaku, sebagai seorang puteri dimulai.
*Solo, kala cerita imaji mulai menggerayangi bumi