Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Cerpen Ini Buat Mami

7 Oktober 2019   08:08 Diperbarui: 7 Oktober 2019   08:25 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

7 Oktober. Ya, pagi yang cerah untukku. Seharusnya. Tapi, kuawali hari dengan begitu terburu-buru. Tugas kantor yang masih menumpuk, dan beberapa event kantor yang harus diselesaikan programnya.

"Mam, aku brangkat ya,"seruku dibalik pintu kamar Mami yang masih tertutup. Kubuka pelan pintu itu, kulihat Mami masih sare. Kututup kembali pintu kamar pelan-pelan.

Semalam jantung Mami kambuh. Akhir-akhir ini memang Mami semakin sering sakit. Diabetesnya sempat kambuh meskipun tak pernah dilewatkannya ritual minum obat dari dokter. Tapi, sepertinya kondisi Mami tak berangsur sehat.

Ah, sudahlah. Aku tak mau berfikir buruk. Mami orang yang cukup kuat. Baru selangkah kutinggalkan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Mami mencoba berdiri dan terhuyung.

Kupapah tubuhnya yang dua kali lebih besar dari ukuran tubuhku, dan kududukkan ia di sebuah kursi di samping kamarnya. 

Wajahnya tak lagi putih. Ia sangat pucat. Hampir hijau. Andai saja hari ini kantor mengijinkanku, pasti aku akan menemaninya di rumah.

"Duduklah di bawah sebentar, Ndhuk," ucapnya pelan.

Kuturuti saja apa katanya, aku tak berani sedikit pun membantah. Tetiba, tangan keriputnya ditumpangkan di atas kepalaku. Aku tahu setiap hari Mami selalu melakukannya untukku. Mendoakanku, sebelum aku melangkah beraktifitas.

Lalu ucapnya pelan,"Pergilah, kasih Allah menyertai langkahmu, aku berdoa, di hari ulang tahunmu ini, kau diberi hikmat dan kesehatan, kekuatan dan keberanian. Amin." diciumnya pelan keningku. 

Bibirnya dingin. Tapi pelukannya hangat. Aku mengingatnya erat. Hari itu ulang tahunku. Dan Mami adalah orang pertama yang memberikan ucapan itu untukku.

Oktober berlalu dengan cepatnya. Angin dinginnya meniup daun-daun di depan rumahku. Mungkin memang sudah saatnya daun-daun itu berguguran. Entah mengapa, musim sekarang tak pernah bisa ditentukan. Aku tak pernah mengerti.

Kesehatan Mami semakin memburuk. Kami sempat  ke rumah sakit. Memeriksakan matanya yang mengalami gangguan penglihatan. Berbagai macam tes medis dijaninya, hingga akhirnya dokter pun menyatakan, mata Mami terkena glukoma. 

Mami tak pernah mengerti sakit apa itu. Tapi aku cukup mengenalnya dari berbagai literasi baku yang pernah kubaca. 

Terkadang Mami hanya berkata, "Mataku ini kenapa ya. Sekarang aku tak bisa membaca dengan jelas. Aku masih ingin membaca Alkitab," ujarnya penuh kejenuhan. Akhirnya Bapak memutarkan radio yang sering menyiarkan program kerohanian.

Mami sedikit terhibur. Aku ikut senang, meski kadang sepulang dari kantor aku harus mendengarkan ceritanya yang terus-menerus diulang-ulang. Kubiarkan saja.

" Hari terus berjalan. Seperti mimpi rasanya ya, Non,"ujar Ratri saat ia mengajakku makan ke angkringan di dekat rumahku. "Hey, gimana kabarnya, Mami?"tanyanya

Ratri bukan lagi seorang sahabat bagiku. Ia seperti saudara dalam keluargaku. Dulu, saat kami berdua diwisuda, aku ingat betul bagaimana Mami menyuapinya sarapan, karena Ratri tak mau makan sedikit pun. 

Dan Ratri menyimpan kenangan itu jauh dalam ingatannya. "Suapan wisuda" itu istilah Ratri untuk mengenang peristiwa bersama Mami. 

"Mami kena glukoma, Rat. Makin parah, kayaknya. Hffffh," desahku makin berat. "Oh sudah setengah jam. Yuk kita pulang. Kok rasanya hatiku ga enak, ya, Rat."

Entah mengapa hati ini makin tak menentu. Setiba di rumah, aku segera mengetuk pintu kamar Mami pelan. Dan alangkah terkejutnya aku.

Tubuh Mami kaku. Kuraba nadinya, masih berdenyut. Mata Mami kosong seperti orang kesurupan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Suaranya hanya mendesis.

"Bapak ! Bapak menika pripun? Mami kok kados mekaten?" kupanggil Bapak yang ada di ruang tengah sedang melihat televisi sendiri. 

Pikiranku galau. Aku bukan orang yang mengerti medis. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku berdiri, Bapak tak segera mengambil keputusan. Kuraih gagang telepon, kucoba hubungi rumah sakit. 

Dan malam itu, aku harus tinggal di rumah sakit, menemani Mami yang baru saja terselamatkan nyawanya dari hilang sadarnya. Dari keterangan dokter, aku baru mengerti bila kadar gula darah Mami sangat rendah. Ternyata Mami sempat kehilangan kesadaran. Untung saja, Mami cepat dibawa ke rumah sakit. Nyawanya masih tertolong.

"Oh, kamu masih di sini, Ndhuk? Mbok ya gantian sama yang lain. Kamu kan capek," sapa Mami lembut membangunkan tidurku. Ternyata pagi sudah menjelang.

"Nggih, Mam. Ini nanti gantian Dhek Sunu atau Dhek Siwi. Saya nunggu salah satu dari mereka, Mam," jawabku tak beranjak dari tempat dudukku di samping kiri bed pasien Mami. 

"Ndhuk, Mami ini, sebenere sakit apa, to?" tanyanya bingung.

"Cuma masuk angin kok, Mam. Besok juga sudah pulang," jawabku lagi sambil kubelai rambut yang sudah banyak berubah warna menjadi putih.

"Iya. Aku juga mau pulang. Nanti kita ada malam Natal yo. Kamu sudah siapkan?"

"Sampun, Mam,"

"Maaf, ya, Mami ndak bisa ngasih kamu kado. Padahal aku pengen beliin kamu baju baru. Buat kerja. Kamu senengnya ngeyel. Anak perempuan itu mbok ya yang agak rapi. Mana ada yang mau, kalau kamu kerja aja pake baju ala kadarnya seperti itu."

"Nanti Tyas beli baju, Mam. Tyas janji," ucapku pelan, sambil kubersihkan badan Mami dengan washlap. 

Mami sempat tertidur sebentar. Kubiarkan saja. Entahlah. Aku hanya ingin membiarkannya beristirahat. Meski sebentar. Namun kejadian di rumah kemarin malam kembali terulang. 

Tim medis dengan cekatan menolong Mami. Spatula dimasukkan ke dalam mulut Mami, agar lidahnya tak tergigit. Dan entah tindakan apalagi. Aku tak mampu melihatnya.

Yang kulihat, setelah semua tenang, Mami pun kembali tenang. Seorang perawat menghampiriku. Mungkin karena aku hanya seorang diri di situ. 

Dan entah apa yang sempat terlintas dalam pikiranku. Entahlah. Aku sendiri tak sempat mengenalinya. Semua seperti berhenti. Otakku seperti tak mampu lagi mengolah data, atau mengeluarkan output yang bermutu. Blank. Kosong.

"Mbak...ini saya hanya ingin memberi tahu, Mbak ga usah bingung. Hanya saja, Ibu sedang mengalami hilang kesadaran. Mungkin besok dokter baru bisa visit. Njenengan boleh bertanya sama Pak Dokter untuk lebih jelasnya," kata perawat itu.

Sopor. Ya. Mami sudah dua minggu ini dirawat di rumah sakit. Kondisinya yang hanya bisa dalam fase sopor membuat kami harus terus menerus memantau kesehatannya. 

Fase sopor adalah sebuah fase dimana seseorang kehilangan kesadarannya, bukan fase koma, namun bisa dikatakan hampir menyerupai koma.

Aku senang, Mami sudah boleh kami bawa pulang, setelah hampir dua minggu dirawat di rumah sakit. Namun karena Mami dalam kondisinya yang tak sadar, mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Malam itu, kami kembali membawa Mami ke rumah sakit.

Waktu terus berlalu. Akhirnya aku berjumpa dengan Desember, bulan yang telah lama kutunggu. Setiap malam, aku harus bergantian menjaga Mami. Setiap malam, hanya musik digitalku sajalah yang menemaniku. 

Malam ini hujan turun deras. Petir dan guntur menghujani malam yang basah air surga dengan suara dan kilat yang saling berbalas santun. Musim hujan mulai menggerayangi bumi tempat aku berdiam.

Aku seorang diri di kamar bersama Mami. Ada lagu "Jangan Lupakan" dari Nidji. Well, band favoritku ini selalu menemaniku bersama Mami. 

" Would it be nice to hold you, would it be nice to take you home, would it be nice to kiss you..." kubisikkan sepotong lagu itu di telinga Mami. Meski aku tahu, dalam keadaan sadar pun Mami tak akan mengerti artinya. Mami hanya lulusan SD. "Bagus ya, Mam..."

Sudah seminggu ini Mami mengalami Hementesis Melena. Setiap kali Mami kesakitan, jemarinya mencengkeram kuat. Seakan tanganku ingin diajaknya untuk menikmati rasa sakit itu. Wajahnya menunjukkan raut muka kesakitan. 

Tapi malam ini ada yang aneh. Mami seperti begitu nyaman terlelap dalam tidur sopornya. Kupegang jemarinya pelan, begitu hangat tangan gendut yang mulai keriput itu. 

"Mam...malam ini aku tidur sama Mami, ya?" tanyaku tanpa menunggu atau pun membutuhkan jawaban Mami. 

Malam ini begitu hangat. Terasa sangat nyaman, meski di luar kamar hujan deras mencoba untuk membuyarkan malamku bersama Mami. 

Udara dingin dari pendingin ruangan di kamar Mami yang biasanya menyiksaku saat ini tak terasa dinginnya sama sekali, meski baru saja seorang perawat masuk dan memastikan suhu kamar dalam kondisi yang normal.

Dan entah darimana datangnya kehangatan yang saat itu membelenggu tubuhku. Sesaat aku merasa bak anak kecil yang datang dalam pelukan ibunya. Begitu hangat. Begitu nyaman. Hingga aku pun terlelap dalam tidur yang hanya sekejap.

Ya, aku segera tersadar. Jam dinding menunjukkan selang waktu 10 menit. Entah siapa yang membangunkanku. Tiba-tiba aku tersadar, dan kutemui Mami tak lagi bersuara, sama seperti tidur biasanya. 

"Mam....Mami...Mami...Mam..." kucoba mengguncang tubuh Mami. Mencubitnya. Seperti biasa. Namun Mami hanya terdiam. Kuraba nadi di pergelangan tangan dan lehernya. Aku tak menemukan denyut nadinya. Sama sekali tak ada. 

Tak sabar aku berlari ke ruang perawat jaga. Dan tak lama, beberapa perawat datang dengan mesin pemicu jantung. EKG dinyalakan. Tak lama kemudian dokter jaga pun datang. 

Aku tahu, mereka berjibaku dengan nyawa Mami. Aku tahu. Namun semesta membebankan ketakutan yang cukup besar dalam benakku. Tak ada seorang pun bersamaku malam ini. Tak ada.

Seluruh aliran darahku seakan berhenti. Tak ada satu hal pun yang terlintas dalam alam pikirku. Akhirnya dokter itu melangkah ke arahku, membawa beberapa daftar riwayat kesehatan Mami. Aku tahu, ada satu hal yang kutakutkan, yang akan disampaikannya.

"Maaf, Mbak. Kami sudah berusaha. Tapi maaf, ibu sudah meninggal,"ucap dokter itu seakan mencoba menyampaikan kabar tak nyaman ini sebaik mungkin.

"Mamiiiiii !" aku berlari mendapatkan lagi tubuh Mami yang masih hangat. Kupukul-pukul dadanya. "Mami janji kita pulang, Mami janji.... Mami kita ada malam Natal, Mam....Tyas sudah siapkan, Mam...Sudah. Tyas sudah beli baju baru, Maaaam.. sudah...., " tangisku memecah sunyi malam di kamar itu. 

Perawat menarik tubuhku dari tempat tidur Mami. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Biasanya Siwi atau Sunu ada bersamaku. Tapi malam ini aku benar-benar sendiri. Benar-benar hanya sendiri.

*Solo, tepat 7 Oktober, seikat kembang kuletakkan di atas nisanmu, jangan lupakan aku, berkat dan doamu selalu bersamaku, ibu... Have a great and peacefully rest in heaven, miss you and love you...always

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun