Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menunggu Bukan Lagi Hal yang Menjemukan

3 Oktober 2019   11:35 Diperbarui: 3 Oktober 2019   11:51 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menunggu, adalah hal yang menyenangkan? Masa sih? Pasti Anda berpikir saya sedang bercanda. Menunggu, adalah hal yang sangat membosankan. 

Menunggu bis sekolah? Wah jadi lagu nih.... :) Menunggu pekerjaan yang tak juga didapatkan, padahal sudah berusaha ke sana ke sini melamar? Menunggu jawaban dan kepastian dari seorang yang kita kasihi? Atau menunggu kabar dari seseorang yang tinggalnya jauh dari tempat tinggal kita?

Dan masih banyak hal yang kita jumpai dalam kehidupan ini dengan menunggu. Sungguh, intinya, banyak orang menganggap menunggu adalah hal yang sangat tidak mudah untuk kita lewati. 

Seperti salah seorang teman saya, setelah bertahun-tahun menikah, mereka belum dikaruniai anak. Padahal mereka berdua telah melewati berbagai usaha untuk mendapatkan momongan. Mulai dari terapi secara medis maupun secara alternatif. 

Sebut saja namanya Niken. Dalam pernikahannya yang berusia dua tahun, ia bersama suaminya sudah berusaha untuk mendapatkan keturunan. Mereka bersungguh-sungguh mendapatkan dokter terbaik, mengikuti berbagai macam terapi medis, maupun bebagai cara alternatif. 

Tak lama kemudian, ia mengandung. Kandungannya normal, hingga akhirnya ia melahirkan. Proses melahirkannya pun tak ada kesulitan. Semua serba normal. Akan tetapi, entah mengapa, bayi itu terlahir dalam kondisi yang sakit, cukup parah, sehingga harus tinggal di rumah sakit dan berada dalam rawatan paramedis dalam box inkubator.

Beberapa waktu lamanya bayi itu harus dirawat di rumah sakit. Namun malang tidak dapat ditolak, mujur tidak dapat diraih. Anak itu meninggal setelah enam minggu berada dalam inkubator di bawah pengawasan paramedis. 

Saya masih ingat, betapa suami Niken bercerita mengenang bayinya yang meninggal dalam gendongan dengan air matanya yang tertahan dan kata-kata yang terbata-bata.

Sungguh, bukan hal yang mudah bagi Niken. Setelah menunggu sekian lama, bertahun-tahun, namun impian yang telah di depan mata harus sirna begitu saja.

Akan tetapi ada satu hal yang saya ingin bagikan di sini tentang hal menunggu. Menunggu. Suatu proses yang sangat menjemukan. Apalagi menunggu hal-hal yang sangat kita harapkan dan doakan siang dan malam.

Bosan adalah hal yang dibutuhkan?

Membosankan. Perasaan itulah yang muncul saat kita sedang menunggu. Jenuh, jengah, bosan, lalu menyerah untuk terus berjuang.

Bosan merupakan hal yang banyak dihindari oleh hampir semua orang, termasuk saya. Ada satu hal yang menarik dengan rasa bosan, saat saya membaca buku Richard Carlson, Don't Sweat The Small Stuffs. Dalam bukunya tersebut, Richard Carlson mengatakan bahwa sebenarnya kita sangat membutuhkan kebosanan. 

Kita adalah manusia. Human beeing. Makhluk yang mempunyai rasa dan emosional. Kita makhluk hidup bukan robot tanpa sensitivitas jiwa. 

Namun pada kenyataannya, dengan berbagai macam rutinitas yang membelenggu kita setiap hari, 24 jam bukanlah waktu yang cukup bagi kita untuk menuntaskan semua urusan kita.

Terkadang saya berpikir, untuk apa proses menunggu itu hadir dalam hidup kita? Bukankah lebih baik jika semua hal dapat kita lakukan tanpa menunggu, yang sepertinya hanyalah membuang-buang waktu?

Kesibukan, kerja keras, rutinitas yang padat, target pekerjaan yang harus dikejar, mobilitas yang tinggi, semua hal tersebut membuat kita menjadi human doing, not human beeing. Sehingga pada saat kita menjajaki fase "menunggu" hal tersebut akan sangat mengganggu kita.

Supaya kita kembali menjadi makhluk yang dapat merasakan emosional kita, maka "menunggu"  adalah satu proses hidup yang dihadirkan dalam hidup kita. Sehingga hadir rasa bosan. Untuk apa? Supaya kita tetap merasa menjadi manusia, dan bukan mesin pencetak materi.

Kembali lagi pada sepasang pasutri teman saya tadi. Niken dan suaminya pun sempat mengalami kejenuhan dan kebosanan yang mencapai titik kulminasinya, sehingga sempat mereka mengeluh penat, dan hampir menyerah.

Saya bersyukur, karena pada akhirnya mereka berdua mau kembali tersadar, dan bangun, lalu mencoba lagi. Sehingga pada tahun yang ke-5 pernikahan mereka, akhirnya mereka dikaruniai seorang anak yang sangat cantik dan pintar.

Pada kesempatan kali ini ada hal yang mereka tambahkan dalam pengalaman dan proses berjuang mereka. Ada satu hal yang saya kagumi. Dalam menunggu, mereka sertakan rasa pasrah. 

Menunggu itu pasrah? 

Arswendo Atmowiloto dalam salah satu novel best seller nya, Canting, pernah menyertakan satu prinsip dalam kata "pasrah". 

"Menunggu adalah sikap pasrah. Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasib, menerima takdir. Menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir. Bersiap menerima yang terburuk saat mengharapkan yang terbaik."

Ya. Memang, menunggu adalah sebuah proses dimana kita harus belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Belajar sabar, belajar rendah hati, belajar tekun dengan terus berikhtiar, belajar tetap berharap, belajar menjadi berjiwa besar, belajar menjadi lebih dewasa, dan masih banyak hal yang mungkin belum saya sebutkan saat kita menjalani proses menunggu. Semua kembali pada pengalaman hidup kita masing-masing.

Sebuah ilustrasi akan saya coba hadirkan di sini, untuk menggambarkan indahnya proses menunggu.

Seorang barista pasti akan tahu bagaimana ia menyajikan kopi yang telah kita pesan. Ia akan menyiapkan gelas yang tepat, untuk kopi tersebut. Apakah kopi yang kita pesan itu hangat atau dingin. Dalam proses penyajian tersebut, seorang barista pun tahu, kapan sebuah gelas yang telah disiapkan sejak awal, akan diisi dengan kopi yang sesuai dengan gelas tersebut.

Mari kita coba berandai-andai. Andai barista tersebut adalah Tuhan, sedangkan kopi yang siap dituangkan ke dalam gelas tersebut adalah anugerah pemberianNya, dan gelas tersebut adalah kita, maka, bukankah Tuhan tahu kapan Ia akan menuangkan kopi yang sesuai ke dalam gelas yang tepat pada saat yang tepat? 

Ia tahu benar kapan kita siap menerima semua anugerah pemberianNya. Dan menunggu adalah proses kita disiapkan, proses yang hanyalah Tuhan sendiri, Sang Pencipta sendirilah yang menentukan kapan kita siap menerima anugerahNya.

Bosan boleh datang dalam hidup kita sebagai fakta bahwa kita memang manusia, "human beeing, not human doing". Namun bosan tak boleh tinggal selamanya. 

Karena menunggu bukan hal yang hanya bisa diisi dengan kata "bosan", lalu menyerah, namun bisa kita isi dengan membangun diri.

Berserahlah, tanpa harus menyalahkan orang lain, lingkungan, atau diri sendiri. Berserah bukan menyerah.

*Solo, selamat menjalani proses menunggu yang indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun