"Kau harus memakainya. Berjanjilah jangan pernah melepaskannya," kata Ayah sambil memakaikan sebuah cincin tanpa batu permata. Hanya seperti sebuah logam berbentuk lingkaran. Polos, berwarna silver. Tak ada ukiran apa pun. Tak ada yang menarik dari cincin sederhana itu.
"Apa ini jimat, Ayah?" tanyaku heran .
Ayah hanya tersenyum saat kusebut kata jimat. Ya, tentu saja. Ayahku adalah orang yang tak pernah mempercayai hal-hal mistis. Mungkin jika ada perang antara yang percaya dan tidak percaya mistis, Ayah pasti berada di garda paling depan pada barisan mereka yg tak percaya.
Ayah lebih percaya pada manfaat teknologi. Meski teknologi dalam ukurannya adalah teknologi jadul dalam kamusku.
"Braaaak!!!" ada suara seperti pohon jatuh dan menimpa atap garasi kami.Â
Kami saling menatap. Ayah memberi kode pada kami berdua, aku dan Iyem untuk tetap di tempat kami.
Sementara suara-suara seperti bom terdengar di sana sini. Benar-benar suara yang sangat mencekam. Malam itu bukan malam hening dan nyaman seperti biasanya.Â
"Zdaaagg!!" seperti sesuatu sedang menabrak kaca jendela depan.
"Zdaaagg.... zdaaagg.... zdaaagg...." Oh, terdengar mengerikan sekali di luar sana.Â
Iyem memelukku erat. Aku tahu wajahnya ketakutan tapi bagiku ia seperti lebih cemas. Entah apa yang ia cemaskan.Â
"Nya, berjanjilah, jangan kamu lepaskan cincin ini, apa pun yang terjadi," kali ini Ayah mengatakannya dengan sangat jelas.Â