"I'll be home soon," pelan ia berkata, seolah tak ingin melepasku pergi.
Setelah lama ia menempatkanku pada titik yang aku tak pernah mengerti, akhirnya ia melepaskan aku.Â
Tak lama kemudian, di kejauhan terlihat asap hitam mulai mengepul. Seakan membelah langit yang semula biru cerah, menjadi hitam. Suara riuh orang-orang berhamburan, berteriak histeris.Â
"Iyem, ada apa?" Iyem tak menjawab tanyaku. Ia menarikku masuk ke dalam rumah. Â Ditengah nafasnya yang mulai tak beraturan, Iyem menutup semua tirai yang menutupi jendela rumah.Â
"Non, cepat kunci pintu. Bantu Iyem tutup semua pintu belakang dan garasi. Iyem mau nutup pintu jendela di lantai atas," katanya tanpa penjelasan apa pun.
Ayah yang sedari tadi sedang membaca di kamar pun akhirnya ikut keluar. Segera dinyalakannya televisi. Ayah tak pernah mempercayai dunia online. Ia lebih menyukai televisi, radio, dan segala sesuatu yang bersifat konvensional.
Hanya perlu beberapa menit, akhirnya Ayah pun mengikuti semua yang Iyem lakukan.Â
"Nya, kamu tutup pintu garasi dan segala akses orang ke rumah ini. Cepat! Ayah bantu Iyem," serasa Ayah hanya copas permintaan Iyem tadi.
Malam ini kami habiskan dengan rasa takut yang tak seperti biasanya. Ketakutan mencengkeram kami sekuat tenaga. Ayah menyuruhku dan Iyem tetap berada di ruang tengah.Â
Aku anak tunggal. Namaku Tania. Sesingkat itu? Iya. Saat aku lahir, aku tak lagi mengenali ibuku. Kata Ayah, Ibu meninggal sesaat setelah melahirkan aku. Aku tak pernah punya saudara lagi.Â
Ayah anak tunggal juga. Sejak kepergian Ibu, beliau sangat enggan untuk menikah lagi. Nenek tak pernah berhenti untuk menjodohkannya dengan semua wanita di seluruh dunia. Itu menurutku.Â