Namun Lyn pagi itu memberanikan diri menemui wanita separuh baya yang ia anggap sebagai ibu kandungnya. Dihampirinya Bu Jannah di meja makan bulat sedang membaca sebuah tabloid wanita kesukaannya.
"Bu, Lyn mau tanya, boleh?"
"Ada apa, Lyn?"
"Bu, apa Lyn boleh urus pasar Ibu? Lyn sudah kangen pasar. Apa Ibu ga akan jualan lagi? Ibu di rumah ga pa pa. Biar Lyn yang jaga kios. Nanti uang hasil jualan pasti Lyn kasih semua ke Ibu. Apa Lyn boleh buka kios Ibu?"
Bu Jannah tak menjawab pertanyaan Lyn. Ia tersenyum padanya. Diusapnya rambut gadis bermata sipit itu dengan lembut.Â
"Lyn kangen pasar atau kangen Han Han?" ujar Bu Jannah lembut.
Lyn tak menjawab. Dalam hatinya ia sempat bertanya, bagaimana mungkin seseorang yang tersakiti hatinya, meradang karena duka, tetapi masih bisa bercanda.
"Besok Lyn dan Ibu pergi ke pasar, ya? Kita buka kiosnya. Nanti tolong bilang Pak Min Becak, suruh ngangkut semua barang dagangan kita. Ibu juga sudah bosan dengan diam di rumah terus, Lyn."
Jawaban Bu Jannah seakan meredakan gejolak rindu dalam batin Lyn. Senyum sederhana Bu Jannah pun kembali meneduhkan setiap hantaman kegelisahan yang memuncak dalam hati seorang Lyn. Dipeluknya erat Bu Jannah. Diciumnya pipi wanita tua di hadapannya.Â
"Lyn, kamu tahu ke mana Nala? Ibu cemas. Dua hari ini dia tak terlihat di rumah."
"Lyn ga tahu, Bu. Kak Nala....Kak Nala pergi. Sejak hari Selasa kemarin. Katanya mau siaran malam, tapi,..."