Hai....
Apa kabarmu sahabatku, apakah kau baik-baik saja? Masihkah kau mengenaliku? Seperti bulan yang masih mengenali salah satu bintang di langit, meski ada berjuta bintang bertebaran di langit malam
Kuharap, kau selalu indah, seperti bunga yang setiap hari kupandangi. Di taman yang biasa kita bertemu, meski ruang dan waktu menjadi dinding pemisah yang indahÂ
Hari ini aku masih menunggumu di sini, di tepian kolam taman kota, di mana aku pertama kali melihat dua bola mata indahmu, meski kau tak pernah menyadari hadirku
Senang aku menemuimu, melihat gerai rambut ikalmu yang diterbangkan angin, senang aku, meski hanya duduk di sampingmu dan hanya melihatmu, hanya menikmati keindahan setiap lekuk bentuk wajah yang tercipta begitu sempurna
Kau cantik, sangat indah, dalam rengkuh senyum saat kau membaca tiap kata dalam halaman buku yang selalu kau bawa, di tepi kolam kota ini
Sengaja aku menunggumu, terus menunggumu, meski kadang kau tak datang, seperti hari ini, entah mengapa kau tak datang, aku menunggu untuk menikmatimu, sama seperti daun yang menunggu angin menggoyangkannya
Hai,...
Aku sungguh menantimu, mungkinkah itu hanya ilusiku? Telah berapa masa terlewat sejak kau termenung, diam, lalu pergi.....
Apa yang terjadi? Apakah siang telah menyakitimu? Atau malam telah merampas mimpi indahmu? Adakah yang telah menyakiti senjamu? Aku tak pernah mengerti
Yang kumengerti, aku tak mampu menyentuh ragamu, aku menerima itu, aku bahkan tak bisa berbicara denganmu, meski kucoba merangkai kalimat terindah di seluruh dunia untukmu
Yang ku tahu, kau pun tak mampu melihatku, meski sesaat pun. Aku menerima itu, menerimamu menjadi pemilik jantungkuÂ
Aku masih menunggumu, sahabatku, untuk melihat senyum di wajah indahmu, meski tak kan pernah aku bisa milikimu
Dunia kita berbeda, meski jarak tak mau mengganggu, namun dimensi memberi kita sanksi, hanya di bawah pohon inilah sukmaku mampu bersua denganmu
*Solo, nol nol lima sembilan