Dear diary, ....
Aku mengingatnya lagi. Mimpi itu. Kata orang, berharaplah agar mimpimu terwujud. Tapi ini mimpi buruk. Ini mimpi yang tak ingin kuingat dan kualami. Aku tak bisa, diaryku....
Aku tak ingin ada kata maaf darinya yang kucintai. Aku tak mau ia mengatakan, "Maaf, aku harus tak kembali,"
Tidak. Bukan itu. Apakah mimpi itu harus terwujud? Tidak sama sekali. Aku bahkan masih berharap, mimpi itu hilang. Dan biarkan saja hanya sebuah mimpi.
Masih dalam ruangan penuh derap tekanan tuts PC. Alunan Bach berganti dengan musik lain, Dear God, mungkin.
Oh, ....seperti badanku terasa demam. Suhu tubuhku mulai meninggi. Karena inikah aku berimaji? Ternyata bukan karena asmara aku berkhayal tinggi. Semua hanya karena suhu badanku yang meninggi.Â
Semua berputar, seakan semesta mengajakku berdansa. Berlenggang. Semua bergoyang. Kursi dan cabinet penyimpan file di sudut ruangan juga bergoyang.Â
Ada apa dengan mereka? Sangat senang kah mereka dengan mimpi buruk ku? Lihat, perutku terasa semakin mual kala kulihat jam dinding cekikikan menertawaiku.Â
Prasangka ini memburuku. Sama saat seseorang mengatakan aku sedang berprasangka, maka pada saat yang sama aku pun berprasangka atas prasangka mereka terhadapku.
Satu-satunya sekutu hanya sehelai sweater yang menempel di tubuhku. Dia yang sejak pagi pengap tadi membuatku nyaman.
Separuh raga kuhabiskan untuk menunggu. Ya...menunggu itu menyebalkan, seperti yang kukira dulu. Tapi, pernah Arswendo Sang Penulis dengan senyumnya yang melegenda, mengajariku katanya,
"Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasib, menerima takdir. Menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir. Bersiap menerima yang terburuk, ketika mengharap yang terbaik."