"Ibu, seharusnya aku yang minta maaf," ucapku. "Terimakasih telah merawat Bapak selama ini, Bu."
"Sudah kewajiban Ibu, Nak." Ibu mengusap kepalaku sambil tersenyum.
Bapak memandang kami dengan tatapan bahagia. Tersenyum lega sebelum akhirnya ia terbatuk-batuk lagi. Cukup parah sampai mengeluarkan sedikit darah.
"Bapak sebenarnya sakit apa? Kenapa ngga pernah cerita pada Tika?"
"Bapakmu terkena infeksi paru-paru. Sudah dua setengah tahun ini. Dia tak mau membuatmu khawatir." Ibu menjawab dengan tatapan pilu.
"Bapak ngga apa-apa kok, Nak. Kamu jangan khawatir."
***
"Besok pagi kamu jadi berangkat, Nak?" Genab dua minggu sudah aku berada di rumah bapak. Berbagi cerita, canda dan tawa. Namun juga menyisakan pilu sejak tahu tentang kondisi kesehatan bapak.
"Iya, Pak. Tapi aku janji bakal kembali ke sini lagi, Pak. Doakan rejeki kami lancar agar bisa sering mengunjungi bapak."
"Sebenarnya Bapak masih ingin kamu tinggal di sini lebih lama, Nak. Atau barangkali suamimu mau meneruskan usaha tambak ikan Bapak, biar kalian ngga usah lagi merantau." Bapak menatapku lekat, ada secercah keinginan dari pandangan matanya.
"Mungkin belum untuk saat ini, Pak," jawabku pelan. "Mungkin suatu hari nanti."
"Ya sudah kalau begitu maumu, Bapak tidak akan memaksa." Bapak tersenyum.