"Dek, tahun ini kamu ngga pengen lebaran di rumah bapak di kampung?" Mas Firman --suamiku-- menatap mataku lekat. Mengingatkan pada sosok bapak yang telah empat tahun tidak pernah sekalipun aku kunjungi.
"Nanti kupikir-pikir dulu, Mas," jawabku asal. Mas Firman mengernyit memandangku.
"Hmm ... oke, ini kebetulan Mas ada rejeki lebih kalau kamu pengen pulang nengok bapak, Dek," katanya kemudian.
Aku dan bapak berbeda pulau. Aku di Jawa, sedangkan bapak di Sulawesi. Sejak mas Firman mengajakku merantau empat tahun lalu, belum pernah sekalipun aku pulang. Hanya berbincang sekadarnya via suara dan uang yang sesekali kami kirim untuk bapak di kampung, walaupun bapak sering menolaknya.
"Nak, simpan saja uangnya untuk keperluanmu." Selalu itu yang bapak katakan lewat telepon setiap transferan dari kami masuk ke rekeningnya.
Empat tahun bukan waktu yang singkat. Bukan karena aku tak rindu pada bapak, hanya saja semua telah berubah sejak ibu meninggal enam tahun yang lalu dan bapak memutuskan untuk menikah lagi.
Ibu tiriku membawa serta anak perempuannya yang hampir seusia denganku, tinggal di rumah bapak. Aku benci mereka, seenaknya mengubah tatanan rumah sesuai selera mereka, dan meninggalkan ciri khas dari ibuku.
"Lihatlah, Pak, semua kenangan tentang ibu hampir punah di rumah ini!" protesku pada bapak suatu hari.
Aku mencintai gaya rumah klasik hasil dekorasi ibu. Ditambah pohon anggrek di samping rumah beraneka ragam. Ibuku seorang pecinta anggrek.
Teringat senyum ibu yang selalu merekah saat sedang asyik dengan anggrek-anggreknya, walaupun saat itu ibu tengah berjuang melawan kanker yang dideritanya.
Kini rumah itu berubah sejak ibu pergi menghadap Sang Pencipta untuk selamanya. Gaya klasik telah disulap menjadi gaya modern sejak ibu tiriku hadir menempati singgasana sebagai pendamping bapak. Semua pohon anggrek telah hilang berganti dengan bangunan tambahan di samping rumah. Memuakkan, aku seperti orang asing di rumahku sendiri.