Ada guru sejarah baru mengajar di kelasku, begitu yang kudengar dari percakapan mereka. Ehm teman-teman maksudku, mungkin. Bagiku mereka hanyalah anak-anak yang kebetulan dikelompokkan bersama denganku dalam kelas ini. XII IPS2, ya ini kelasku. Mereka? Teman? Kupikir bukan. Bahkan aku lupa kapan terakhir aku punya seseorang yang bisa kusebut teman. Ada pepatah ada pertemuan, ada juga perpisahan. Karena itu aku tidak mau memulai sebuah pertemuan lagi. Aku takut bahkan terlalu takut untuk menerima perpisahan itu. Mungkin aku pengecut, tapi itulah aku. Orang-orang yang aku sayang selalu akan meninggalkan aku sendiri. Dengan mudahnya mereka membuatku menangis. Dimulai dari Ayah, beliau pergi. Pergi jauh sekali, Tuhan yang telah mengajaknya pergi. Dulu Ayah janji padaku akan selalu menemaniku, ingatkah kau Ayah? Mengapa kau ingkari itu Ayah?
      Aku ingat saat terakhir melihat wajahnya yang kuning sawo matang, dengan rambut lurusnya yang tetap terlihat rapi,  wajahnya begitu berkilauan sungguh tampannya Ayahku. Saat itu aku baru duduk dikelas 1 SMA, berarti itu dua tahun yang lalu. Kamis tanggal 21 Mei 2010, masih pukul 08.45 WIB tapi aku diharuskan pulang karena ada telefon dari rumah. Aku belum tahu mengapa aku dipulangkan lebih awal, hanya sedikit terselip rasa takut. Hah aku tidak tahu apa itu dan mengapa.  Sesampainya di rumah jantungku hampir berhenti berdetak, langkahku terhenti saat ada bendera warna kuning yang dikibarkan di rumah. Aku hanya diam tak mengeluarkan sepatah katapun hanya diam berdiri mematung perhatikan bendera kuning itu. Ada mama yang datang menghampiriku dan langsung memelukku.
"Ayah... telah pergi nak." bisik mama padaku.
Taukah bagaimana rasanya? Seperti terhempas oleh kereta api dan menjadikanku serpihan-serrpihan kecil. Seperti kau memotong aliran nadiku hingga membuat darah ini berhenti mengalir, buatku tak berdaya atas tubuh ini. Dan aku hanya diam, menangispun tidak. Aku mencoba menutup mata berharap saat kubuka kembali mata ini, semua ini tak nyata. Bodoh! Ini nyata. Â Aku berjalan perlahan memasuki rumah. Memperhatikan orang-orang yang ada saat itu. Mereka menangis, berdoa sembari menangis. Sesekali mereka menghampiriku yang hanya berdiri diam melihat tubuh yang terkujur kaku berselimutkan kain batik yang cantik.
"Aldia.. yang kuat ya" selalu itu yang mereka ucapkan. Seolah aku yang saat itu jatuh terpuruk dalam sebuah jurang kesedihan. Aku baik-baik saja. Tidakkah mereka tahu?
***
      Guru baru itu datang. Perlahan ia memasuki ruangan kelasku. Kalau tidak salah namanya Pak Sutedjo. Kulitnya bersih kuning langsat. Wajahnya lumayan untuk lelaki usia sekitar 30-an itu. Kelasku begitu gaduh saat Ia datang.
"Pagi anak-anak!" sapa Pak guru baru itu. Malang, tidak ada yang menghiraukannya. Ada yang sibuk membicarakan model baju yang tertera pada majalah bulanan. Beberapa  asyik dengan handphone di tangannya. Ada yang sibuk memainkan potongan-potongan kertas berwarna yang kemudian ditaburkannya ke lantai.  Ada pula Mia yang jadi bulan-bulanan anak laki-laki yang iseng menakut-nakuti Mia dengan kecoa. Dan aku? Hanya diam. Tenggelam dalam pikiranku yang hening.
"Harap tenang anak-anak!" nampaknya guru itu mulai merasa kalah dengan situasi ini. Mereka yang semakin gaduh dengan kesibukannya masing-masing.
Ah.. tidakkah mereka sadar ada seorang guru yang siap menanti perhatian dari kami?
"Brrraaakkkkk..." spontan tanganku menggebrak meja di hadapanku dan pergi meninggalkan kelas tanpa sepatah katapun. Aku tak peduli mereka yang langsung diam terpaku padaku. Jangankan mereka, akupun tak mengerti perasaanku saat itu. Rasanya sungguh muak, muak sekali dengan semua keributan yang mereka buat. Â