Beberapa hari terakhir ini, setidaknya ada dua pembahasan yang ramai dibicarakan oleh penduduk media sosial di Indonesia, yakni pemilihan Presiden RI dan Game of Thrones (selanjutnya disingkat GoT). Keduanya memang sama-sama menjadi isu hangat di kalangan pengguna media sosial karena penyelenggaraan/penayangannya berada di kurun waktu yang hampir bersamaan, sekitar April-Mei 2019. Seperti yang diketahui, Pemilihan Presiden di Indonesia diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019 bersamaan dengan pemilihan legislatif. Hasil pemilihan umum tersebut selesai dan diumumkan oleh KPU pada tanggal 21 Mei 2019. Di waktu yang hampir bersamaan, film serial HBO GoT yang ditayangkan sejak tahun 2011 ini juga telah merampungkan penayangannya. Pada tanggal 19 Mei 2019 lalu, penayangan GoT menjadi episode terakhir sekaligus menjadi season penutup dari film serial yang berjumlah delapan season ini.
Sesuai dengan judulnya, Game of Thrones (GoT) menceritakan perjalanan para karakter dalam mencapai takhta. Jika para pembaca tulisan ini merupakan penonton setia serial GoT, tentunya sudah tahu bagaimana perjalanan dari setiap karakter dalam mencapai takhta tersebut. Intrik, politik, manipulasi bahkan pertumpahan darah adalah proses yang mewarnai perjalanan para karakter dalam mencapai takhta (Iron Thrones). Meskipun film yang diadaptasi dari novel George R.R. Martin ini adalah kisah fiktif, namun bagi penulis, kisah perjalanan GoT sangat realistis dan sarat akan makna untuk dijadikan bahan pembelajaran/renungan bersama.
BELAJAR KEPEMIMPINAN DARI DAENERYS TARGARYEN
Daenerys Targaryen merupakan salah satu karakter yang ada di film GoT. Sejak season perdana GoT, Daenerys Targaryen digambarkan sebagai salah satu tokoh protagonis yang memiliki ambisi mulia untuk menghapus pemimpin tiran di Seven Kingdoms. Oleh karenanya, karakter Daenerys banyak mencuri perhatian dan menjadi salah satu kandidat yang dianggap layak menduduki Iron Thrones oleh penonton/penggemar GoT. Namun tidak seperti banyak harapan dari penggemar, penulis skenario justru membuat karakter Daenerys di akhir episode menjadi antagonis.Â
Daenerys diceritakan menjadi murka demi membalas kematian orang-orang kepercayaannya (Ser Jorah dan Missandei) yang mati di medan perang, serta kedua naga yang sudah dianggapnya seperti anak. Ia menjadi madqueen yang tidak lagi rasional dengan membumihanguskan Kings Landing termasuk penduduk yang tidak bersalah. Ia seolah kehilangan belas kasih. Aksi brutal Daenerys ini tidak pernah ditunjukkan pada season-season sebelumnya, kecuali ia membunuh para pemimpin-pemimpin tiran untuk membebaskan para budak yang tidak bersalah.Â
Sejak menjalankan ambisinya untuk membuat dunia menjadi lebih baik dan bebas dari pemimpin tiran, Daenerys memiliki banyak pengikut setia termasuk tokoh berpengaruh di Seven Kingdoms, diantaranya Tyrion Lannister, pasukan Unsullied, suku Dothraki, dan sebagainya. Bahkan sosok Jon Snow yang saat itu dipercaya oleh rakyat Winterfall sebagai King in the North seketika jatuh hati dan percaya sepenuhnya pada kepemimpinan Daenerys.
Hanya membutuhkan waktu jentikan jari, Daenerys yang tinggal sedikit lagi mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat Seven Kingdoms perlahan pupus akibat aksinya di Kings Landing. Perlahan-lahan tokoh yang berpengaruh dan para pengikut setianya mulai mempertanyakan konsistensi Daenerys untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Ketimbang menarik hati rakyat Kings Landing, ia justru menggunakan kekuatannya untuk menakuti rakyat/pengikutnya yang dianggap tidak sejalan lagi dengan dirinya.Â
Bagi beberapa karakter yang mulai mempertanyakan karakter Daenerys beranggapan bahwa ia memiliki potensi besar sebagai pemimpin yang diktator (tiran). Di akhir cerita, Jon Snow (sang kekasih Daenerys) merasa harus menghentikan aksi Daenerys tersebut dengan membunuhnya. Daenerys yang diprediksi sebagai salah satu karakter yang dianggap layak untuk menduduki Irone Thrones, akhirnya tewas bahkan sebelum ia berhasil menduduki Iron Thrones yang telah ia perjuangkan selama ini.
Dari rangkain adegan tersebut, setidaknya bagi penulis terdapat dua pesan penting yang ingin disampaikan penulis skenario.Â
Pertama, kriteria pemimpin yang layak adalah orang yang tidak berlebihan dalam berambisi. Seperti kata Ser Davys di akhir hayatnya ketika ia mulai meragukan kepemimpinan Daenerys bahwa "orang yang tidak terlalu berambisi untuk mendapatkan takhta justru bisa jadi orang yang layak untuk menjadi pemimpin, dan begitupun sebaliknya."Â
Kedua, seorang pemimpin yang layak adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya, bukan ditakuti. Pemimpin yang ditakuti hanya bersifat jangka pendek, berbeda jika pemimpin dicintai oleh rakyatnya, hubungan yang terjalin akan bersifat jangka panjang. Daenerys yang dikisahkan aktif membebaskan para budak dari pemimpin yang tiran di season awal GoT dikenal penuh belas kasih. Karenanya ia memiliki banyak pengikut setia. Hal yang berbeda terjadi ketika ia memulai perjalanan ke utara merebut Kings Landing, ia lebih banyak merasa terancam dan tidak lagi mau bermusyawarah. Ia mengubah metode kepemimpinannya menjadi sangat otoriter. Perlahan-lahan Daenerys kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, bahkan tewas di tangan kekasihnya sendiri.