Kaum Yahudi adalah pelaku ribawi turun temurun. Memberi pinjaman merupakan spirit bagi orang Yahudi. Di setiap masa mereka hadir sebagai pelaku ekonomi ribawi. Di negeri-negeri Eropa mereka menjadi kekuatan ekonomi dominan dan memiliki bisnis perbankan yang turun temurun. Untuk memperbesar modal mereka membuat koloni antar sesama keluarga bankir ataupun melakukan merger Perusahaan.
Dirilis dari artikel berjudul Ancient Jewish History: Banking & Bankers pada jewishvirtuallibrary.org. Diceritakan bahwa perbankan Yahudi pada abad ke-19 diawali dengan berdirinya keluarga Rothschild di Frankfurt, Jerman (yang menjadi simbol pedagang perbankan abad ke-19). Putra-putranya menjadi terkenal sebagai bankir besar Eropa di Frankfurt, Wina, Naples, Paris dan London. Antara tahun 1815 dan 1828 total modal keluarga Rothschild meningkat dari 3.332.000 menjadi 118.400.000 franc.
Kemudian tahun 1938 orang Yahudi di Eropa diusir oleh Nazi Jerman, membuat para Yahudi terlantar kesana kemari mencari belas kasihan negara-negara yang bersedia menerima kehadiran mereka untuk tinggal menetap. Tidak ada satu negarapun yang mau menerima mereka kecuali Palestina. Lalu mengapa otoritas Penguasa Palestina mau menerima eksodus besar-besaran bangsa Yahudi dari benua Eropa tersebut. Bukankah terlalu berlebihan dan beresiko besar. Sementara jauh sebelum itu Sultan Abdul Hamid II pernah menolak dengan tegas upaya bargaining Theodore Hertzl pendiri Gerakan zionisme (tahun 1896) untuk meminta sebagian tanah Palestina dan sebagai imbalannya hutang Daulah Ustmaniyah kepada negara-negara Eropa akan dilunasi.
Menurut penulis karena alasan tekanan hutang inilah sebenarnya yang membuat tanah Palestina terpaksa diserahkan. Ustmani tidak sanggup lagi menolak ketika Deklarasi Balfour dimasukkan dalam perjanjian Damai Sevres tahun 1920 antara Utsmaniyah dan negara-negara sekutu, dimana inti perjanjian damai tersebut adalah pembagian wilayah milik Utsmaniyah termasuk memberikan hak bermukim yahudi di Palestina.
Jerat Hutang Yang Mencekik Leher Ustmaniyah
Hutang Ustmaniyah terhadap perbankan negeri-negeri Eropa berawal tahun 1854/1855, dimana saat itu Daulah sedang menghadapi perang Krimea dengan Rusia sehingga perekonomian dalam negeri mengalami defisit besar-besaran. Lembaga-lembaga perbankan Eropa yang notabene didominasi oleh para bankir-bankir Yahudi berhasil merangsek masuk ke tubuh Daulah dengan mengatasnamakan membantu keuangan Daulah melalui tawaran hutang ribawi.
Merilis dari makalah The Ottoman Public Debt Administration (OPDA) in Debt Process of Ottoman Empire , Prof.Dr. Bedriye Tunçsiper. Pada tahun 1875 telah mendekati kebangkrutan, dimana hutangnya sudah mencapai £200.000.000, dengan bunga tahunan dan pembayaran amortisasi sebesar £12.000.000. Lebih dari setengah pendapatan nasional Utsmaniyah dipakai untuk pembayaran hutang dan bunganya.
Ustmaniyah terpaksa menerima kontrol keuangan baru. Dengan dekrit terkenal Muharrem Kararnamesi (Desember 1881) sebagai imbalannya terjadi pengurangan utang publik dari £191.000.000 menjadi £106.000.000. Melalui sebuah organisasi yang dikendalikan Eropa bernama the Ottoman Public Debt Administration (OPDA) dibentuk untuk mengumpulkan pendapatan tertentu dari pajak. Warga Muslim Ustmaniyah membayar pajak mereka ke OPDA dan menyaksikan uang mereka berpindah ke ibu kota Eropa.
OPDA disamping mengurusi pajak juga merupakan perantara dengan perusahaan-perusahaan Eropa yang mencari peluang investasi di Ustmaniyah. OPDA diberikan monopoli garam dan tembakau oleh negara. Termasuk juga diberikan pajak atas perangko, alkohol, perikanan, dan sutra. Meskipun pajak tersebut hanya diberikan di wilayah tertentu, pajak tersebut mencakup wilayah terpenting di Istanbul. Pajak non-khusus wilayah juga diberikan, terutama pada toko- toko, serta bea masuk.
Kesepakatn dengan OPDA justru telah membatasi ruang gerak Daulah. Para pengamat sejarah malah menyebut OPDA dengan “state within the State”. OPDA berubah menjadi kaki tangan imperialisme Eropa terhadap Utsmaniyah. Kedaulatan Ustmaniyah telah tergadaikan oleh hutang ribawi sehingga ia telah dijatuhkan telak tanpa perlawanan berarti.
Karena tekanan yang besar dari dalam dan luar Daulah maka Sultan Hamid II yang dianggap sebagai penghalang bagi terlaksananya ambisi Zionis Israel, berhasil dijatuhkan pada 27 April 1909 setelah 33 tahun berkuasa. Melalui serangkaian konspirasi dan revolusi yang dimotori oleh Gerakan Freemasory dan Iluminity kesemuanya dalam rangka mendirikan Erez Israel (Israel Raya) di tanah Palestina. Kekuasaan setelahnya Sultan Muhammad V tidak memiliki wibawa dan kekuatan hanya sebagai symbol belaka.
Dengan semakin lemahnya ekonomi Utsmaniyah dimana ia pun terseret pada Perang Dunia I yang sebenarnya tidak sanggup dihadapinya, maka Utsmaniyah tak dapat lagi menolak Deklarasi Balfour tahun 1917 yang diantara isinya adalah pendirian "National home for the Jewish people" di palestina. Pada tahun 1918
Kondisi Pasca Perang Dunia I (1922) para kaum nasionalis di dalam tubuh Ustmani terus menyebarkan virus sekulerisme. Mustafa Kemal Ataturk (seorang Freemasonry dan Illuminity) pada 29 Oktober 1923 ia memproklamirkan Republik Turki dan dirinya sendiri sebagai presidennya. Pada 1 Maret 1924 Kemal mengumumkan penghapusan kekhilafahan sekaligus mengusir seluruh dinasti ustmaniyah dari Turki.
Sejak saat itulah umat Islam di Palestina tidak memiliki lagi pelindung mereka, seperti anak itik yang kehilangan induknya. Pada 1948 kasus Nakbah menjadi saksi Sejarah yang tidak pernah terlupakan dimana rakyat Palestina dipaksa meninggalkan tanah-tanah mereka yang dirampas para eksodus Yahudi Eropa yang hendak mendirikan negara Israel di tanah Palestina.
Tujuh puluh lima tahun kemudian tepatnya 7 Oktober 2023 rakayat Palestina melakukkan perlawanan terhadap penjajah Israel yang kemudian dibalas Israel dengan aksi genosida besar-besaran, bahkan terbesar mengalahkan Nakbah 1948. Jumlah korban jiwa dari serangan bom tentara IDF mencapai 15.000 jiwa dikalangan sipil tidak berdosa. Alih-alih melakukan perang tanding di medan perang melawan tentara Hamas, tentara IDF Zionis Isreal justru membunuh warga sipil tidak berdosa di daerah-daerah pemukiman, rumah sakit, sekolah dan area pengungsi pun tidak luput dari serangan bom mereka.
Shut Down Sistem Kapitalisme Zionis Ganti Dengan Sistem Islam
Kejahatan Zionis Israel bagaimanapun tidak akan membuat mereka berhenti karena mereka di support oleh sistem kapitalisme yang akan tetap membuat mereka hidup, dan jika sudah stabil kembali keadaan ekonomi mereka, maka akan melakukan kerusakan di atas bumi ini kembali. Artinya upaya boikot produk-produk Israel, gencatan senjata dan lain sebagainya hanya solusi sementara karena akar masalahnya adalah Zionis hidup di alam kapitalis sementara umat yang diluar Yahudi terutama bagaimana kebencian terhadap umat Islam hanya akan menjadi tumbal-tumbal hidup mereka untuk berkuasa di muka bumi ini.
Maka umat manusia butuh hidup diatas sistem yang shohih, sistem yang berasal dari sang pencipta kehidupan, pencipat manusia dan alam semesta ini. Sistem yang tidak membolehkan riba hidup diatas muka bumi, sistem yang mengharamkan pembunuhan tanpa haq, sistem yang menghargai nyawa sesama manusia, sistem yang mengajak manusia kepada penghambaan La Illa ha Ilallah Muhammad Rasulullah. Yaitu Islam.
Mestinya kita bangsa Indonesia bisa belajar dari Palestina, begitu besarnya hutang negara ini pada luar negeri akankah kita akan mengalami hal yang sama dengan Palestina?
Wallahu a’lam bishowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H