Mohon tunggu...
Diah Fitri Patriani
Diah Fitri Patriani Mohon Tunggu... Guru - Muslimah Pemerhati Umat

Muslimah Pemerhati Umat di kota Probolinggo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jeratan Hutang Yahudi dan Tanah Palestina yang Tergadaikan

2 Desember 2023   11:30 Diperbarui: 2 Desember 2023   11:30 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaum Yahudi adalah pelaku ribawi turun temurun. Memberi pinjaman  merupakan spirit bagi orang Yahudi. Di setiap masa mereka hadir sebagai pelaku ekonomi ribawi. Di negeri-negeri Eropa mereka menjadi kekuatan ekonomi dominan dan memiliki bisnis perbankan yang turun temurun. Untuk memperbesar modal mereka membuat koloni antar sesama keluarga bankir ataupun melakukan merger Perusahaan.  

Dirilis dari artikel berjudul Ancient Jewish History: Banking & Bankers pada jewishvirtuallibrary.org. Diceritakan bahwa perbankan Yahudi pada abad ke-19 diawali dengan berdirinya keluarga Rothschild di Frankfurt, Jerman (yang menjadi simbol pedagang perbankan  abad ke-19). Putra-putranya menjadi terkenal sebagai bankir besar Eropa di Frankfurt, Wina, Naples, Paris dan London. Antara tahun 1815 dan 1828 total modal keluarga Rothschild meningkat dari 3.332.000 menjadi 118.400.000 franc.

Kemudian tahun 1938 orang Yahudi di Eropa diusir oleh Nazi Jerman, membuat para Yahudi terlantar kesana kemari mencari belas kasihan negara-negara yang bersedia menerima kehadiran mereka untuk tinggal menetap. Tidak ada satu negarapun yang mau menerima mereka kecuali Palestina.  Lalu mengapa otoritas Penguasa Palestina mau menerima  eksodus besar-besaran bangsa Yahudi dari benua Eropa tersebut. Bukankah terlalu berlebihan dan beresiko besar. Sementara jauh sebelum itu Sultan Abdul Hamid II pernah menolak dengan tegas upaya bargaining Theodore Hertzl pendiri Gerakan zionisme (tahun 1896) untuk meminta sebagian tanah Palestina dan sebagai imbalannya hutang Daulah Ustmaniyah kepada negara-negara Eropa akan dilunasi.

Menurut penulis karena alasan tekanan hutang inilah sebenarnya yang membuat tanah Palestina terpaksa diserahkan. Ustmani tidak sanggup lagi menolak ketika Deklarasi Balfour dimasukkan dalam perjanjian Damai Sevres tahun 1920 antara Utsmaniyah dan negara-negara sekutu, dimana inti perjanjian damai tersebut adalah pembagian wilayah milik Utsmaniyah termasuk memberikan hak bermukim yahudi di Palestina.

Jerat Hutang Yang Mencekik Leher Ustmaniyah

Hutang Ustmaniyah terhadap perbankan negeri-negeri Eropa berawal tahun 1854/1855, dimana saat itu Daulah sedang menghadapi perang Krimea dengan Rusia sehingga perekonomian dalam negeri mengalami defisit besar-besaran. Lembaga-lembaga perbankan Eropa yang notabene didominasi oleh para bankir-bankir  Yahudi berhasil merangsek masuk ke tubuh Daulah dengan mengatasnamakan membantu keuangan Daulah melalui tawaran hutang ribawi.

Merilis dari makalah The Ottoman Public Debt Administration (OPDA) in Debt Process of Ottoman Empire  , Prof.Dr. Bedriye Tunçsiper. Pada tahun 1875 telah mendekati kebangkrutan, dimana hutangnya sudah mencapai £200.000.000, dengan bunga tahunan dan pembayaran amortisasi sebesar £12.000.000. Lebih dari setengah pendapatan nasional Utsmaniyah dipakai untuk pembayaran hutang dan bunganya.

            Ustmaniyah terpaksa menerima kontrol keuangan baru. Dengan dekrit terkenal Muharrem Kararnamesi (Desember 1881) sebagai imbalannya terjadi  pengurangan utang publik dari £191.000.000 menjadi £106.000.000. Melalui sebuah organisasi yang dikendalikan Eropa bernama the Ottoman Public Debt Administration (OPDA) dibentuk untuk mengumpulkan pendapatan tertentu dari pajak. Warga Muslim Ustmaniyah membayar pajak mereka ke OPDA dan menyaksikan uang mereka berpindah ke ibu kota Eropa.

OPDA disamping mengurusi pajak juga merupakan perantara dengan perusahaan-perusahaan Eropa yang mencari peluang investasi di Ustmaniyah. OPDA diberikan monopoli garam dan tembakau oleh negara. Termasuk juga diberikan pajak atas perangko, alkohol, perikanan, dan sutra. Meskipun pajak tersebut hanya diberikan di wilayah tertentu, pajak tersebut mencakup wilayah terpenting di Istanbul. Pajak non-khusus wilayah juga diberikan, terutama pada toko- toko, serta bea masuk.

Kesepakatn dengan OPDA justru telah membatasi ruang gerak Daulah. Para pengamat sejarah malah menyebut OPDA dengan “state within the State”. OPDA berubah menjadi kaki tangan imperialisme Eropa terhadap Utsmaniyah. Kedaulatan Ustmaniyah telah tergadaikan oleh hutang ribawi sehingga ia telah dijatuhkan telak tanpa perlawanan berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun